Covid-19 dan Pejabat Tinggi Negara Mumpuni

  • Whatsapp

Oleh:Connie Rahakundini Bakrie(Doktor Ilmu Politik Universitas Indonesia)
Setelah sekian lama kasus pandemi Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19 menghantui, pada saat bersamaan Indonesia mengalami berbagai permasalahan multidimensi. Mulai dari terjadinya perbedaan kebijakan antara daerah dan pusat dalam penanganan Covid-19, ketersediaan Alat Pelindung Diri (APD) tenaga medis, ketersediaan obat dan “rapid test” yang simpang-siur. Disusul penilaian bahwa pemerintah gagap dan lambat bergerak mengantisipasi Covid-19 di negeri ini.  
Banyak kalangan mulai dari aktivis, tokoh politik hingga para praktisi hukum menilai langkah Presiden Joko Widodo tergagap-gagap  mengatasi pandemi ini. Kebijakan yang diterapkan pemerintahannya jelas berpeluang menciptakan keresahan dan kegelisahan di masyarakat. Apalagi gejolak “panic attack” disertai “panic buying” berpotensi menimbulkan kekacauan atau “social unrest” yang akan berujung kekerasan di kalangan masyarakat sipil atau “chaos”.
Padahal di dalam negara demokrasi berlaku prinsip “salus populi suprema lex” atau keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Kendala keterbatasan waktu mengingat kondisi faktual penyebaran virus yang bersifat masif dan cepat,l ini jelas membutuhkan tindakan yang masif dan cepat pula. Penanganan berujung mata panah hukum dan undang-undang ‘saja’ tidaklah akan efektif. 
Covid-19 membutuhkan penanganan yang bersifat lintas sektoral (antar-kementerian dan badan, pusat maupun daerah), terpadu dan terintegrasi di mana sangat dimungkinkan dengan status kedaruratannya untuk melanggar sejumlah ketentuan UU yang ada atau bahkan mereduksi hak asasi manusia (HAM) yang bersifat “derogable right” (hak-hak yang dapat ditangguhkan, dibatasi atau dikurangi pemenuhannya oleh negara) dalam konteks kedaruratan tertentu seperti saat ini. Hak-hak tersebut antara lain masuk dalam kovenan hak ekonomi, sosial, budaya, bekerja, berorganisasi dan pendidikan.
Covenant for Civil and Political Rights (ICCPR) telah mengatur mengenai “State of Emergency” berdasarkan Pasal 4 ayat (1) ICCPR, di mana keadaan darurat dimaknai sebagai “situasi yang mengancam kehidupan bangsa dan keberadaannya”. General Comment Number 29 ICCPR, yang diadopsi pada 31 Agustus 2001 juga memaknai keadaan darurat sebagai “suatu keadaan yang bersifat luar biasa – eksepsional dan bersifat temporer”. Dalam prinsip-prinsip “Siracusa” diatur tentang keadaan “public emergency” dalam prinsip No 39 yaitu “Keadaan adanya ancaman terhadap kehidupan suatu bangsa yang berpengaruh pada seluruh populasi atau seluruh/sebagian wilayah suatu negara”.
Penentuan keadaan bahaya yang dapat menimbulkan kegentingan yang memaksa ini memerlukan analisis kontekstual terhadap fenomena atau peristiwa yang terjadi. Hal ini ditandai dengan tiga parameter utama yaitu adanya unsur ancaman yang membahayakan (dangerous threats), adanya unsur kebutuhan yang mengharuskan (reasonable necessity),  dan adanya unsur keterbatasan waktu yang tersedia (limited time).
Mengingat kekuatan sejati negara demokrasi tidak terletak semata pada negara atau pemerintahan, akan tetapi pada warga negara, maka tugas pokok negara demokrasi ialah mengembangkan segenap potensi yang terdapat pada rakyatnya, utamanya di tengah iklim kedaruratan akibat Covid-19 agar tercapai suatu kreativitas warga sebagai basis sumber daya, antara lain melalui pengetahuan dan teknologi. 
Dalam kaitan kreativitas warga sebagai basis sumber daya melalui pengetahuan dan teknologi, sebagai akademisi yang berkecimpung dalam dunia pertahanan keamanan serta teknologi kekiniaan yang menyertainya serta menimbang unsur kedaruratan yang harus segera dapat diselesaikan negara, maka saya dan beberapa sahabat berinisiatif membuat sebuah aplikasi berbasis kesadaran masyarakat secara mandiri.
Yakni berupa aplikasi “non-surveillance” dengan hanya mengandalkan suhu tubuh berikut lebih kurang 15 anomali terkait Covid-19 yang dapat dijawab dengan “ya” atau tidak. “Artificial Intelligence” kemudian akan membaca status kedaruratan kita dari jawaban yang diberikan. 
Siapa sangka, siapa nyana, di tengah keseriusan kami untuk bersegera menyelesaikan dan memuat aplikasi ini di “PlayStore” agar dapat segera dimanfaatkan masyarakat, Google dan Apple mendadak mengeluarkan peraturan bahwa aplikasi apa pun yang bertemakan Covid-19 tidak dapat diterima dan diunggah di PlayStore kecuali atas nama akun lembaga negara. Kami pun bergegas menghubungi beberapa pejabat kementerian/lembaga terkait. Ragam jawabannya sudah dapat diduga, ada yang tidak menjawab, ada yang mematahkan semangat, ada yang mengiyakan tetapi tidak memberikan akses, ada yang meminta kami menghubungi staf nun jauh di bawah sana, di mana saat dihubungi staf tersebut terlihat tidak peduli dengan makna kedaruratan dan pentingnya aplikasi ini. 
Setengah putus asa, akhirnya kami memberanikan diri menghubungi langsung melalui WatsApp (WA) ke nomor Wakil Ketua MPR RI Ibu Lestari Moerdijat, dan Menteri Komunikasi dan Informasi Johnny G Plate. Kami benar-benar terkejut dengan respons kedua pejabat tinggi negara ini, di mana dengan cara kerja yang cepat, tanpa lapisan staf, tanpa birokrasi berbelit, keduanya proaktif menghubungi langsung, bertanya di mana titik masalah kami, dan Pak Menteri langsung menugaskan dua direktur jenderal (dirjen) untuk segera berkomunikasi dengan kami dan pihak Google di kantor pusatnya di Amerika Serikat (AS).
Dalam kurun waktu kurang dari 8 jam, Pak Menteri sendiri langsung menghubungi kami dan memberitahukan bahwa kedua dirjennya telah menyelesaikan masalah tersebut dan aplikasi kami akan segera tersedia di PlayStore, alias rekomendasi penuh telah diberikan pada Google untuk aplikasi kami tersebut.
Di saat itulah saya tertegun sekaligus merasa salut dan mengerti mengapa kedua pejabat tinggi negara ini memiliki “attitude” dan cara kerja yang betul-betul berbeda, efektif, cepat dan efisien untuk merespons kreativitas kami anak- anak bangsa sebagai sumber daya negara. Mungkin inilah yang dimiliki keduanya dan tidak dimiliki oleh pejabat tinggi lainnya, yakni kesadaran politik.  Kesadaran politik merupakan kondisi psikologis yang tanggap terhadap suatu hal tentang negara. Ramlan Surbakti (dalam Kharim, 2004: 109) mengemukakan bahwa politik adalah “hak dan kewajiban sebagai warga negara menyangkut minat dan perhatian seseorang terhadap lingkungan masyarakat dan politik”. Apa yang saya pahami kemudian adalah terkait masalah pendidikan politik dan kaderisasi di dalam partai politik yang mewakili kedua tokoh tersebut. 
Bagi negara merdeka dan berdaulat, eksistensi parpol merupakan prasyarat negara melalui wakil-wakilnya yang duduk dalam badan-badan perwakilan rakyat. Pendidikan politik yang dilaksanakan parpol di mana kedua tokoh ini berasal antara lain mungkin terkait bagaimana mereka harus berpartisipasi secara aktif dan kreatif dalam kehidupan bernegara, dan sadar akan hak dan kewajiban serta tanggung jawabnya sebagai pejabat tinggi negara terhadap kepentingan negara, bukan hanya terhadap parpol. Ini menjelaskan bahwa pendidikan politik parpol di mana keduanya berasal terbukti telah berhasil melahirkan tokoh politik yang mampu menerima informasi mengenai proses penyelenggaraan negara, pembuatan keputusan, serta memahami keterampilan politik dalam menumbuhkan nilai fundamental dalam berdemokrasi. 
Kaderisasi adalah proses penyiapan agar kelak anggota parpol menjadi pemimpin yang mampu membangun peranan dan fungsi organisasi. Ada dua persoalan yang penting, pertama, bagaimana usaha yang dilakukan oleh parpolnya untuk meningkatkan kemampuan, dan kedua, kemampuan menyediakan kader parpol. Hal ini merupakan bentuk pendidikan politik di mana selama ini peran tersebut terabaikan. (Koirudin, 2004: 113). 
Tujuan diadakannya kaderisasi ini adalah agar semua anggota parpol dapat menjalankan fungsinya di dalam badan negara karena kader-kader inilah yang nantinya akan menjalankan tugas-tugas badan negara. Dengan pengalaman ini, kami dapat melihat dan menyimpulkan betapa berbedanya pejabat tinggi negara yang dihasilkan sebuah parpol yang orientasi utamanya  meningkatkan kualitas keanggotaannya, baik dalam keilmuan, kedisiplinan dan kerendahatian, di mana ketiga elemen ini akan mempermudah terwujunya “triple helix” (hubungan yang berkembang antara universitas, industri dan pemerintah), “quadraple helix” (pengembangan masyarakat berbasis pengetahuan kompetitif), pun “quintuple helix” (memandang lingkungan alam masyarakat dan perekonomian sebagai pendorong pengetahuan produksi dan inovasi) yang rajin digaungkan oleh banyak pejabat negara, tetapi sulit dan berbelit-belit untuk diwujudkan dalam melangkah mencapai tujuan bersama. 
Semoga negara hebat ini akan selalu mampu melahirkan tokoh-tokoh politik yang mumpuni dari parpol yang peduli pada pendidikan dan kaderisasinya, sehingga Indonesia dapat terus maju pesat, cepat dan melesat dengan bimbingan, kerendahatian, pertisipasi dan semangat kebersamaan seperti kedua tokoh di atas. “Da salutatos honoratosque”!

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait