Eko Sulistyo
Dalam dunia kedokteran, vaksinasi telah merevolusi kesehatan global. Bahkan dapat dikatakan sebagai salah satu inovasi yang paling menyelamatkan jiwa manusia dalam sejarah kedokteran. Vaksin telah memberantas cacar, memangkas angka kematian anak, dan mencegah cacat seumur hidup.
Di tengah pandemi global Covid-19, yang telah membunuh lebih enam ratus juta manusia dan korban ekonomi, vaksin akan menjadi juru selamat. Kini banyak negara, lembaga penelitian, perusahaan farmasi, terlibat perlombaan penemuan vaksin untuk menjadi pemenang pertama. Dengan akses pertama terhadap vaksin Covid-19, sebuah pemerintahan akan lebih mudah mengambil langkah pemulihan ekonomi warganya ke kehidupan normal kembali.
Indonesia juga tak mau ketinggalan terlibat pengembangan vaksin Covid-19 bekerjasama dengan beberapa negara dan perusahaan farmasi. Salah satunya dengan Sinovac, perusahaan bioteknologi dari Cina, menggandeng Bio Farma dan Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. Rencananya awal Agustus ini dilakukan uji klinis tahap ke tiga kepada 1620 sukarelawan.
Selain dengan Sinovac dari Cina, Indonesia kerjasama dengan perusahaan Korea Selatan, Genexine. Kerja sama ini dilakukan PT. Kalbe Farma yang rencananya juga mengajak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Kementerian Riset dan Teknologi, juga sedang meneliti vaksin “Merah Putih” untuk pengembangan vaksin Covid-19.
Namun, di tengah perlombaan vaksin ini, jarang diketahui bagaimana sejarah penemuan vaksin itu sendiri. Bagaimana perintisnya mengembangkannya, dan menjadi dasar pengembangan vaksin di masa depan. Tulisan ini mengetengahkan sejarah penemuan vaksin hingga sampai tiba di Indonesia—atau yang saat itu masih disebut Hindia Belanda.
Edward Jenner dan Cacar
Vaksin pertama kali diperkenalkan oleh dokter Inggris, Edward Jenner (1749-1823), yang pada 1796 menggunakan virus cacar sapi (cowpox) untuk memberi perlindungan terhadap cacar (smallpox) pada manusia. Namun, prinsip vaksinasi sebenarnya telah diterapkan para tabib di Asia dengan memberi anak-anak kerak kering dari lesi orang yang menderita cacar untuk melindungi dari penyakit. Kontribusi Jenner adalah menggunakan hipotesis bahwa peternak sapi tidak pernah tertular cacar.
Dengan hipotesis itu, Jenner mulai mengerjakan serangkaian percobaan yang kini dikenal sebagai kelahiran imunologi, terapi vaksin, dan kesehatan preventif. Dalam Wikipedia disebutkan, Jenner berhasil menguji teorinya saat menginfeksi anak laki-laki berusia 8 tahun dengan nanah dari lesi cacar sapi yang memberinya perlindungan terhadap cacar. Kesuksesan ini menginspirasinya dengan melakukan percobaan 23 kasus yang sama, termasuk kepada anak lelakinya yang berusia 11 bulan.
Semua detail penelitiannya ini dikumpulkan dalam bukunya, An Inquiry the Causes and Effects of the Variolae Vaccinae. Penemuan Jenner dikenal sebagai vaksinasi yang diambil dari bahasa latin sapi atau “vacaa”. Pada 1789, Janner mengirim artikel ilmiah tentang hasil studi yang dilakukannya kepada majalah The Royal Society yang terkenal dan bergengsi.
Janner menjelaskan bahwa upaya vaksinasi yang dilakukannya berhasil memberi perlindungan dari serangan cacar. Vaksinasi ini dengan cepat menjadi sarana utama untuk mencegah cacar di seluruh dunia, bahkan menjadi wajib di beberapa negara. Kini, lukisan Janner yang sedang melakukan vaksinasi terhadap seorang bocah terpampang megah di Welcome Museum, London.
Hampir seabad setelah Edward Jenner, pada 1885, ahli biologi Prancis, Louis Pasteur (1822-1895), menyelamatkan nyawa seorang bocah sembilan tahun setelah digigit anjing gila. Dengan menyuntikan virus rabies yang telah dilemahkan, bocah itu tidak pernah menderita rabies dan perawatannya dinyatakan sukses. Pasteur memproduksi vaksin pertama untuk rabies dengan menumbuhkan virus pada kelinci, dan kemudian melemahkannya dengan mengeringkan jaringan saraf yang terkena.
Pasteur menciptakan terapi “vaksin rabies” dan memperluas arti vaksin di luar asalnya. Pengaruh global Pasteur menyebabkan perluasan istilah vaksin untuk memasukkan daftar panjang perawatan yang mengandung virus hidup, dilemahkan atau dibunuh. Biasanya diberikan dalam bentuk suntikan, untuk menghasilkan kekebalan terhadap penyakit menular.
Setelah masa Pasteur, pencarian yang luas dan intensif untuk vaksin baru dilakukan. Vaksin terhadap bakteri dan virus diproduksi, serta vaksin terhadap racun lainnya. Melalui vaksinasi, cacar bisa diberantas di seluruh dunia pada 1980, dan kasus polio menurun hingga 99 persen. Contoh lainnya gondong, campak, demam tifoid, kolera, wabah, tuberkulosis, tularemia, infeksi pneumokokus, tetanus, influenza, demam kuning, hepatitis A, hepatitis B, beberapa jenis ensefalitis, dan tipus.
Vaksin Pertama di Indonesia
Jejak vaksin pertama tiba di Hindia Belanda pada 1804. Dalam Sejarah Kedokteran Di Bumi Indonesia (2010), A.A. Loedin, mencatat pada Maret 1846, Dr. Bosch selaku Inspektur Vaksinasi menyurati Minister van Kolonien (Menteri Urusan Koloni) di Belanda untuk mengirim vaksin cacar secara teratur setiap bulan menggantikan vaksin lama yang tiba di Batavia pada Juni 1804.
Namun Bosch kemudian membatalkan permintaan itu karena secara tidak terduga menerima bingkisan dari Wina berisi vaksin aktif. Pengirimnya adalah Dr. G. Eisinger, Stads-geneesheer (Dokter Kota) Surabaya, yang kebetulan berlibur ke Wina dan mendapat vaksin cacar dari Prof. Dr. Zaehner yang diambil langsung dari sapi. Vaksin ini dikirim dalam dua pipa kapiler.
Pada 1870, di Belanda didirikan perhimpunan untuk memproduksi dan mendistribusi vaksin cacar. Amsterdam, Rotterdam, Utrecht, dan Den Haag berlomba mengirim vaksin cacar ke Batavia. Hampir setiap 2-3 bulan sekali diterima kiriman vaksin cacar aktif. Dibukanya Terusan Suez pada 1869 dan penemuan kapal api mempersingkat perjalanan Belanda-Batavia dari 4-6 bulan menjadi 6 minggu.
Pada 1875, Hoofd van de Geneeskundige Dienst (Kepala Dinas Kesehatan) melaporkan bahwa vaksin cacar sudah tersedia di 14 residensi. Pengiriman berkala vaksin cacar dari Belanda baru dapat dihentikan pada 1892, ketika Parc Vaccinogene telah mampu memproduksi vaksin cacar dalam jumlah sesuai dengan kebutuhan program vaksinasi di Hindia Belanda.
Parc Vaccinogene didirikan di Batu Tulis (Buitenzorg) pada 15 Januari 1879 berdasarkan Gouvernements Bestluit (Keputusan Pemerintah) No. 6. Namun dalam perkembangannya Batu Tulis kurang cocok untuk pengembangan vaksin karena makin sulit mendapatkan sapi atau anak sapi untuk memproduksi vaksin cacar. Pada 1891, didirikan Parc Vaccinogene di Weltevreden (Menteng), dan pada 1892, Instituut Pasteur digabung dengan Parc Vaccinogene, yang kini menjadi PT. Bio Farma, BUMN produsen vaksin terbesar di Asia Tenggara yang dimiliki Indonesia.
Dalam sejarahnya, Parc Vaccinogene mampu meningkatkan produksi vaksin cacar dan kebutuhan program vaksinasi di Hindia Belanda. Namun kendala vaksinasi yang utama adalah sulit memperluas cakupan karena kurangnya partisipasi masyarakat saat itu. Maka ketika vaksin Covid-19 kelak ditemukan, partisipasi masyarakat akan menjadi penentu kesuksesan vaksinasinya.
Penulis adalah Sejarawan, pernah Deputi di Kantor Staf Presiden (2015-2019).