Oleh : Dr. Naidah Naing, ST., MSi., IAI
( Dosen Arsitektur UMI, Anggota Dewan Kehormatan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Sulawesi Selatan, Anggota Forum Dosen Makassar)
Surat Edaran Mendikbud No.4 tahun 2020 tentang pelaksanaan kebijakan pendidikan dalam masa darurat penyebaran Corona virus Disease (Covid-19).
Menyebutkan bahwa kesehatan lahir dan batin siswa, guru, kepala sekolah dan seluruh warga sekolah menjadi pertimbangan utama dalam kebijakan pendidikan selama masa penyebaran corona yang semakin meningkat.
Kebijakan ini telah merubah drastis kebiasaan persekolahan yang ada di Indonesia, yang sebelumnya menganut sistem tatap muka langsung dengan menggunakan seluruh sarana dan prasarana yang ada di sekolah.
Termasuk gedung dan segala tools yang ada, menjadi sistem pembelajaran melalui jaringan (daring). Proses belajar dari rumah melalui sistem daring, tanpa mengumpulkan siswa dan guru dalam sebuah gedung adalah perwujudan dari upaya pemerintah dalam melaksanakan pembatasan interaksi sosial (social distancing) sebagai salah satu cara pemutusan penyebaran Covid-19.
Peserta didik cukup berada di rumah masing-masing untuk melakukan pembelajaran jarak jauh dengan memanfaatkan teknologi baik melalui laptop, televisi ataupun gadget.
Ujian Nasional, ujian sekolah untuk kelulusan dan ujian akhir semester yang sifatnya mengumpulkan peserta didik tidak boleh dilakukan.
Ujian sekolah hanya dapat dilakukan dalam bentuk portofolio nilai rapor dan prestasi yang diperoleh sebelumnya, penugasan, tes daring, dan/atau dalam bentuk assesement jarak jauh lainnya.
Kebijakan pendidikan yang diberlakukan selama masa pandemi Civid-19, dan tidak menutup kemungkinan akan menjadi bagian dari sistem pendidikan Indonesia di masa depan,telah menciptakan paradigma baru dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Hal ini telah memporakporandakan paradigma lama yang menganut sistem pendidikan konvensional. Pertanyaan yang paling mendasar adalah sudah siapkah stakeholders pendidikan kita dalam menerima paradigma baru ini?.
Paradigma baru dalam menjalankan kebijakan di dunia pendidikan selama masa pandemi Corona-19 ini menuntut semua stakeholder pendidikan untuk melakukan lompatan besar melalui berbagai strategi.
Adanya perubahan bentuk belajar dari gedung sekolah ke belajar di rumah yang pembelajarannya difokuskan pada pendidikan kecakapan hidup antara lain menganai Covid-19, secara tidak langsung menuntut agar para stakeholder pendidikan untuk memikirkan rekonstruksi filosofi pendidikan di Indonesia.
Konsep filosofi pendidikan di Indonesia telah mengalami pergeseran makna terutama di era konsep pendidikan modern sekarang ini, apalagi dengan kebijakan pendidikan di tengah merebaknya wabah Covid-19.
Paradigma lama dalam dunia pendidikan, dimana belajar dalam gedung sekolah, dimasa pandemi Covid-19 tidak berlaku secara efektif. Para peserta didik dan guru cukup duduk di depan laptop/komputer/gadget di rumah masing-masing atau dimanapun berada.
Hal ini memberi paradigma baru bahwa suatu saat kegiatan belajar mengajar tidak membutuhkan gedung lagi sebagai tempat berkumpul.
Pada sekolah konvensional, guru adalah subyek yang berfungsi sebagai narasumber pembelajaran. Namun dimasa pandemi Covid-19 ini, guru hanya bertindak sebagai fasilitator, bahkan jika pemerintah tidak melakukan rekonstruksi filosofi pendidikan, maka era guru sebagai sumber belajar nyaris berakhir.
Peran guru sebagai fasilitator lama kelamaan akan ditinggalkan. Bahkan paradigma guru sebagai pengajar dan peserta didik sebagai subyek yang diajar dianggap cara pandang yang sudah usang.
Bergesernya filosofi pendidikan sedikit demi sedikit telah menghilangkan budaya budi pekerti dari peran ‘guru sebagai orang tua’ di sekolah menjadi ‘guru sebagai teman’ dan di era pandemic Covid-19 ‘guru adalah fasilitator’.
Guru sebagai orang tua memberikan sebuah atmosfir pendidikan yang membuat peserta didik dapat berkeluh kesah menyampaikan semua semua permasalahan layaknya anak kepada orang tua, sehingga guru dapat menangkap karakter setiap anak.
Namun pergeseran makna menjadi ‘guru sebagai teman’ telah banyak menunjukkan sisi negatif, dimana peserta didik mulai melapaui nilai yang seharusnya dilakukan.
Begitu banyak kenyataan yang memberitakan perlakuan yang tidak semestinya dari peserta didik terhadap gurunya.
Sedangkan di era Covid-19 ini dimana guru sebagai fasilitator, bahkan lama kelamaan peserta didik tidak membutuhkan guru lagi karena adanya guru mesin (internet) telah menghilangkan sisi kekuatan batin dan karakter antara peserta didik dan guru.
Hal ini bertentangan dengan konsep filsafat pendidikan yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan tumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek) dan tubuh anak dalam rangka kesempurnaan hidup dan keserasian dengan dunianya.
Karena dengan tumbuhnya kekuatan batin dan karakter peserta didik berarti mengarahkan pendidikan untuk meningkatkan citra manusia menjadi manusia yang berpendirian teguh untuk nilai-nilai kebenaran.
Ekspresi kebenaran itu melalui pancaran tutur kata, sikap, dan perbuatan secara langsung terhadap lingkungan alam tidak dapat ter-cover melalui metode pembelajaran daring. Oleh karena itu peran guru sebagai transfer of knowledge tetap diperlukan diantara kegamangan akan nasib pendidikan kita pasca pandemi.
Selain rekonsepsi filosofi pendidikan, dalam menghadapi kebijakan pendidikan di masa covid-19 ini, pemerintah juga harus melakukan re-orientasi tata kelola sekolah.
Social distancing, belajar dan bekerja dari rumah (Work From Home) selama masa pandemi covid-19 tidak perlu merubah tatanan sistem pendidikan yang ada, hanya saja sistem pendidikan di Indonesia perlu melakukan adaptasi dengan mendorong sekolah-sekolah untuk melakukan pengembangan sistem pembelajaran yang berbasis teknologi dan internet.
Sebenarnya bagi sekolah-sekolah diperkotaan, sistem pembelajaran berbasis teknologi sudah tidak asing lagi. Namum kenyataan menunjukkan bahwa kondisi sekolah-sekolah di Indonesia umumnya memiliki sistem pembelajaran yang jauh dari harapan. Baik yang ada di kabupaten kota apalagi di pedesaan.
Banyak kendala yang dihadapi sekolah-sekolah dalam melakukan re-orientasi tata kelola sekolah. Selain karena ketersediaan sumberdaya guru yang kebanyakan belum melek teknologi (Imigran digital).
Belum meratanya kuaitas dan kompetensi guru yang dibutuhkan dalam menghadapi era teknologi, juga karena minimnya sarana dan prasarana sekolah yang mendukung terlaksananya sistem pembelajaran dengan menerapkan sains dan teknologi di sekolah.
Sekolah harus memiliki sarana dan prasarana penunjang untuk pelaksanaan pembelajaran sistem daring, untuk mengantisipasi kejadian-kejadian darurat lainnya. Kendala yang paling utama dari re-orientasi tata kelola sekolah di era Covid-19 ini adalah banyaknya guru yang mengidap penderita Imigran digital.
Para guru yang merupakan peninggalan jaman lampau kebanyakan belum siap dalam menggunakan teknologi digital dalam sistem pembelajarannya.
Oleh karena itu, dengan adanya sistem belajar dari rumah, telah merubah lansekap persekolahan di indonesia, yang mau tidak mau akan memaksa para pendidik untuk belajar menggunakan teknologi digital dalam proses belajar mengajar secara daring.
Hal ini menuntut para pendidik untuk lebih kreatif dan berusaha mencari inovasi dalam melaksanakan pembelajaran online.