Jakarta, beritalima.com| – Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) kembali terpilih sebagai daerah ramah difabel setelah meraih Peringkat 1 Provinsi Inklusif Difabel di Indonesia pada gelaran Temu Inklusi Nasional 2025.
Sebuah capaian yang patut diapresiasi, namun sekaligus menjadi pengingat, jalan menuju pembangunan inklusif masih panjang dan penuh tantangan.
Penghargaan ini bukan akhir, melainkan titik awal untuk menakar sejauh mana komitmen benar-benar diwujudkan dalam kebijakan, layanan publik, dan kehidupan sehari-hari. Sebab inklusi bukan sekadar label, melainkan praktik nyata yang menyentuh kehidupan difabel di ruang-ruang sosial, ekonomi, pendidikan, hingga politik.
Dalam rangka memperkuat komitmen Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia bersama Symphoria Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar diskusi publik bertajuk “Sinergi untuk Inklusi: Memperkuat Komitmen DIY sebagai Provinsi Inklusif”, di Pusat Desain Industri Nasional (PDIN), Yogyakarta (8/12)?
Tujuannya jelas: memperdalam evaluasi capaian DIY, memperkuat koordinasi multipihak, dan merumuskan langkah konkret agar inklusi tidak berhenti pada seremoni penghargaan.
Suryatiningsih Budi dari OHANA menyatakan prinsip kunci: “Tidak ada pembicaraan tentang kita (difabel) tanpa melibatkan kita” dan “Tidak ada satu orang pun yang boleh tertinggal dalam pembangunan.”
Pesan ini sederhana namun tajam. Inklusi bukan sekadar menyediakan fasilitas, melainkan menciptakan lingkungan terbuka dan aksesibel bagi semua orang. Artinya, setiap kebijakan harus memastikan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dan merasakan manfaat pembangunan.
Faishol Muslim dari Biro Kesejahteraan Rakyat Setda DIY, mewakili Forum Perlindungan, Penghormatan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas (FP3HPD), menekankan semua orang setara dan berhak hidup maju. Ia mengingatkan bahwa hambatan struktural maupun sosial harus diatasi bersama.
Pemda DIY sendiri telah mengamanatkan inklusi dalam Perda No. 2 Tahun 2023 tentang RPJMD, yang menempatkan pembangunan inklusif sebagai salah satu misi utama.
FP3HPD, forum resmi yang dibentuk melalui Peraturan Gubernur, memiliki fungsi strategis menyusun rencana kerja, koordinasi lintas instansi, rekomendasi kebijakan, membangun jejaring, mendorong partisipasi organisasi difabel, hingga evaluasi tahunan.
Namun, pertanyaannya: sejauh mana forum ini mampu bergerak efektif di lapangan? Apakah rekomendasi benar-benar diterjemahkan menjadi kebijakan yang berpihak, atau sekadar berhenti di meja rapat?
Penghargaan yang diraih DIY adalah simbol pengakuan, tetapi juga ujian konsistensi. Inklusi tidak boleh berhenti pada seremoni, melainkan harus hadir dalam transportasi publik yang ramah difabel, sekolah/sarana pendidikan yang menerima semua anak tanpa diskriminasi, layanan kesehatan aksesibel, hingga kesempatan kerja yang adil di tingkat nasional.
Masih banyak difabel yang menghadapi hambatan nyata—dari akses jalan, birokrasi yang rumit, hingga stigma sosial. Tanpa keberanian untuk mengakui kelemahan ini, penghargaan hanya akan menjadi slogan kosong.
Meski tantangan besar, langkah DIY patut diapresiasi. Diskusi multipihak seperti yang digelar SIGAB dan UII menunjukkan inklusi adalah kerja bersama, bukan tugas satu lembaga.
Harapannya, penghargaan ini menjadi pemicu untuk mempercepat perubahan nyata. Bahwa inklusi bukan sekadar jargon, melainkan napas pembangunan yang memastikan tidak ada satu pun warga yang tertinggal.
Karena pada akhirnya, ukuran keberhasilan bukan pada panggung penghargaan, melainkan pada keseharian difabel yang bisa hidup, belajar, bekerja, dan berkontribusi tanpa hambatan.
Jurnalis: Abdul Hadi (difabel netra).








