JAKARTA, Beritalima.com– Politisi senior Partai Golkar di Komisi IV DPR RI, Firman Soebagyo mengatakan, tembakau punya potensi tidak hanya dari aspek ekonomi yang besar terhadap pemasukan negara, tetapi juga sosial.
Karena itu, kata wakil rakyat dari Dapil Provinsi Jawa Tengah ini dalam Forum Legislasi bertema ‘Menakar Urgensi RUU Pertembakauan’ yang digelar di Press Room Gedung Nusantara III Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (28/9), diperlukan Undang-Undang (UU) untuk mengatur pertembakauan dari hulu sampai ke hilir.
Selain wakil rakyat kelahiran Pati, Jawa Tengah, 2 April 1953 itu, juga tampil sebagai nara sumber anggota Panitia Khusus (Pansus) Pertembakauan DPR RI, Cucun Ahmad Syamsurijal dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan pengamat ekonomi politik Salamuddin Daeng.
Dalam kesempatan itu, Firman mengatakan, cukai tembakau sampai saat ini masih menjadi sumber pemasukan negara. Bahkan pemasukan dari cukai tembakau tersebut jauh lebih besar dibandingkan pajak komoditas lainnya.
Bahkan data dari Bea Cukai, target penerimaan cukai rokok melebihi target yang ditetapkan pemerintah. Pada 2020, penerimaan cukai rokok Rp176,31 triliun dari target Rp173 triliun yang kemudian diturunkan lagi berdasarkan Keppres menjadi Rp170,2 triliun.
“Ini luar biasa dan merupakan penyokong utama APBN Indonesia. Sayang dana cukai ini yang kembali kepada para petani relatif kecil, terbanyak disubsidi untuk Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Artinya, orang sakit pun yang menumpang biaya pengobatan dari cukai tembakau,” ungkap Firman.
Uang dari cukai tembakau ini, juga dinikmati oleh dokter yang melayani pasien peserta BPJS Kesehatan. Uang cukai rokok itu ada feedback-nya kepada dokter. “Kalau ini mau dimatikan, kita sepakat undang-undang ini kita ketok dan kita tutup tembakau, maka diam dia. Tetapi pertanyaan saya, bisa nggak mengganti penerimaan Rp170 triliun itu sumbernya dari mana?’ tanya Firman.
Selain masalah devisa negara, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI tersebut, tenaga kerja yang ribuan dari pabrik rokok itu mau ditampung dimana dan BPJS Kesehatan siapa yang harus mensubsidi. Sedangkan para petani tembakau yang jumlahnya cukup besar beralih profesi kemana?
Pada kesempatan itu, Firman juga menyinggung kampanye anti rokok atau tembakau. Ada dua 2 skenario dari kampanye anti tembakau itu.
Pertama, dari industri farmasi kelompok Bloomberg. Mereka menggerakkan anti tembakau agar digeser kepada farmasi. Tembakau secara berlahan akan digantikan dengan tembakau sintetis dan itu sudah terjadi di industri rokok di Indonesia.
Kedua, muncul rokok liquid yang juga industri farmasi. Ini persaingan dagang menggunakan instrumen-instrumen media tertentu yang dibiayai cukup besar oleh Bloomberg untuk menghajar tembakau terus menerus.
“Rokok bertembakau dijustifikasi adalah pembunuh, lebih dahsyat mana asap rokok dibandingkan dengan asap mobil. Lebih dahsyat mana asap rokok dibandingkan dengan asap industri. Bahkan Presiden Amerika Serikat saat ini, Joe Biden mengatakan tidak ada bukti bahwa rokok mematikan,” kata Firman.
“Karena itu, kembali kepada kita apakah akan menutup mata tembakau ini punya potensi dari aspek ekonomi juga dari aspek sosial, industri, tenaga kerja,” kata Firman.
Pada kesempatan yang sama, Cucun Ahmad Syamsurizal mengatakan, RUU Pertembakauan ini menjadi kebutuhan yang sangat mendesak demi melindungi petani tembakau lokal. “UU ini sudah keniscayaan yang harus diwujudkan, kalau tidak, ya mau sampai kapan,” kata dia.
Sedangkan Salamudin Daeng menilai, RUU Pertembakauan ini sangat berat tantangannya. Karena berhadapan langsung dengan rezim internasional yang namanya WHO Framework Convention on Tobacco Control. “Itu regulasi yang sangat kuat, karena dipayungi oleh PBB dan FCTC langsung diturunkan ke dalam UU Kesehatan,” kata dia. (akhir)