JAKARTA, Beritalima.com– Wabah pandemi virus Corona (Covid-19) yang melanda dunia termasuk Indonesia dapat membawa peluang buat daerah Tertinggal, Terdepan dan Terluar (3T) antara lain kesadaran Pemerintah akan pentingnya pemerataan teknologi semakin tinggi.
Hal itu diungkapkan Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Dr Hj Hetifah Sjaifudian webinar yang digelar Tiffanews, Senin (20/7) dengan topik ‘Pendidikan di Papua: Normal Baru, Desain Baru’ dalam menyambut tahun ajaran baru 2020/2021.
Selain Hetifah, juga tampil sebagai pembicara dalam webinar itu James Modouw selaku Direktur Lembaga Pengembangan Pendidikan Pedalaman Papua (LP4) dan Kepala Dinas Pendidikan, Perpustakaan, dan Aset Daerah provinsi Papua, Christian Sohilait, Direktur Pendidikan VOX Populi Institute Indonesia, Indra Charismiaji, Rektor Universitas Cenderawasih, Afolo Safanpo General Manager Witel Papua, Sugeng Widodo dan Pakar Pendidikan Universitas Cenderawasih, Robert Masreng.
Dalam paparan berjudul ‘Peluang dan Tantangan Belajar di Masa Pandemi’, Hetifah yang juga Wakil Ketua Umum Partai Golkar bidang Kesra itu mengharapkan kedepannya penyediaan infrastruktur telekomunikasi hingga ke daerah 3T akan menjadi fokus pembangunan.
Namun, wakil rakyat Dapil Provinsi Kalimantan Timur ini mengingatkan, jika ini gagal dilakukan, pandemi dapat justru memperbesar kesenjangan yang ada. Hetifah pun memaparkan beberapa temuan dari Panitia Kerja Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) Komisi X DPR RI.
“Dari evaluasi yang kami lakukan di lapangan, masih banyak persoalan yang mendesak untuk diselesaikan. Antara lain survey yang sumber datanya masih belum utuh menangkap keberjalanan PJJ di seluruh Indonesia. Kemendikbud harus benar-benar memiliki data akan keadaan setiap satuan pendidikan dalam menjalankan PJJ ini,” jelas Hetifah.
Dikatakan, daerah 3T memiliki beberapa perbedaan mendasar dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia. Contoh, dari survei Kemendikbud ditemukan 65,7 persen guru di daerah 3T tak pernah merekomendasikan platform pembelajaran daring. Bandingkan dengan daerah non-3T yang hanya 22 persen.
“Ini mungkin disebabkan keterbatasan akses atau informasi. Itu harus menjadi pertimbangan pembuat kebijakan di tingkat nasional. Tak semua guru melek teknologi, tidak semua murid memiliki HP, tidak semua orang tua mampu mendampingi dan tidak semua tempat memiliki koneksi internet memadai. Ini semua harus dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan.” demikian Dr Hj Hetifah Sjaifudian. (akhir)