Dalam Masa Pandemi Covid-19, HIPMI Fokus Selesaikan Masalah Ketenagakerjaan, Vokasi & Kesehatan di RI

  • Whatsapp

JAKARTA – Di tengah pandemi Covid-19 ini, Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI) sebagai wadah pengusaha muda nasional intens melakukan rapat koordinasi.

BPP HIPMI melakukan rapat koordinasi bidang (Rakorbid) Diperluas Bidang IX yang membidangi Ketenagakerjaan, Vokasi, dan Kesehatan HIPMI se-Indonesia secara online melalui virtual zoom. Rapat Bidang yang bertemakan “Sinergi Bidang IX HIPMI se-Indonesia di Tengah Pandemi” ini, Ketua Bidang Ketenagakerjaan, Vokasi, dan Kesehatan BPP HIPMI Sari Pramono menggarisbawahi apa saja yang mampu dilakukan oleh HIPMI khususnya bidang IX di masa pandemi Covid-19 terkait masalah ketenagakerjaan, vokasi, dan kesehatan.

Sari mengatakan, untuk dunia vokasi perlu adanya link and match dengan pengusaha. HIPMI sangat mendorong pendidikan vokasi disiapkan untuk bisa diterima oleh pasar atau market tenaga kerja.

“Jika ada link and match pendidikan vokasi, insya allah semuanya terserap. HIPMI harus banyak bersinergi dengan dunia kampus karena melahirkan calon pekerja untuk kita, jadi harus ada kesesuaian. Keterampilan juga harus disesuaikan dengan kebutuhan pasar,” ujar Sari, Jumat (22/5/2020).

Dalam presentasinya, Sari memaparkan bahwa peran sumber daya manusia (SDM) sangat penting bagi perekonomian sebuah negara dan salah satu input penting bagi pembangunan industri yang berdaya saing. Pada 2030-2040, Indonesia akan mengalami bonus demografi dimana jumlah usia produktif mencapai 64 persen dari total penduduk 297 juta jiwa.

“Sumber daya sehat dan kuat itu penting, seperti misalnya bonus demografi antara bencana vs kesempatan. Berdasarkan laporan World Economic Forum (WEF), index daya saing global Indonesia pada 2017 di peringkat 47, pada 2018 menempati posisi peringkat 45, dan di peringkat 50 pada 2019,” ucapnya.

Sesuai Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2016 tentang Revitalisasi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dalam rangka Peningkatan Kualitas dan Daya Saing SDM Indonesia, dibutuhkan kerjasama dan dukungan dari industri sebagai faktor penting terselenggaranya pendidikan kejuruan dan vokasi yang mampu beradaptasi dengan kebutuhan dunia kerja. Sementara sebesar 60 persen di Indonesia masih tamatan rendah yaitu SMP ke bawah.

“Jam kerja Indonesia rendah 40 jam. Sedangkan Bangladesh 49 jam, China 47 jam, Kamboja 45 jam, dan Vietnam 41 jam. Oleh karena itu, kami membantu pemerintah untuk peningkatan produktivitas tenaga kerja di lingkungan perusahaan kita sendiri maupun mendorong program pemerintah yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas tenaga kerja melalui pendidikan dan pelatihan tenaga kerja,” ungkapnya.

Sari menyebutkan, data dari Badan Pusat Statistik (BPS), lulusan SMK mendominasi tingkat pengangguran terbuka (TPT) menurut jenjang pendidikan tertinggi yang ditamatkan pada Februari 2017 hingga Februari 2019. Dengan demikian, pembangunan kualitas SDM harus melalui pengembangan vokasi.

“Mendorong keterlibatan di dunia usaha dan dunia industri, pemberian beasiswa untuk pendidikan vokasi, peningkatan kompetensi tenaga pendidik vokasi, penyesuaian kurikulum pendidikan vokasi dengan kebutuhan industri dan teknologi, revitalisasi pendidikan tinggi vokasi, serta penyusunan regulasi terkait sistem mekanisme pembelajaran standar nasional pendidikan. Minat wirausaha juga perlu disampaikan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk masuk ke dalam kurikulum pengajaran, agar minat jadi pengusaha dapat dipupuk sedini mungkin dan menjadi salah satu pilihan profesi,” bebernya.

Selain itu, terkait dengan hubungan industrial dan pengupahan, HIPMI mengawal pemerintah dalam rencana skema khusus penghitungan upah minimum pada industri padat karya berbeda dengan UMP dengan maksud meringankan beban industri padat karya, sehingga industri berkelanjutan dan menyerap lebih banyak tenaga kerja. Terwujudnya tenaga kerja yang produktif, kompetitif dan sejahtera.

“Seperti peningkatan kualitas tenaga kerja Indonesia (TKI), ketenagakerjaan juga menghadapi tantangan baru dalam menjembatani komunikasi antara industri dan pekerja terutama pada masa Covid-19 ini dimana tingkat pengangguran bertambah. Kami pengusaha muda yang memiliki bisnis padat karya dan berkembang usahanya harus didukung supaya ekspansi sehingga bisa menyerap lebih banyak tenaga kerja lagi. Jadi tenaga kerja yang ada yang sudah dilatih bisa terserap,” tuturnya.

Saat ini, lanjut Sari, sebanyak 2 juta karyawan sudah di rumahkan atau pemutusan hubungan kerja (PHK) dari perusahaan, dimana jumlah tersebut masih terus meningkat diperkirakan angka PHK dan karyawan di rumahkan bisa mencapai 2,9 juta hingga 5 juta di Indonesia dimana secara global sudah menyentuh di angka 150 juta. Jumlah tenaga kerja asing (TKA) masih rendah dibandingkan dengan angka angkatan kerja 130 juta hanya sekitar 0,03 persen.

“Kita perlu mengoptimalkan manfaat TKA ini dengan masuknya ilmu dan teknologi baru dalam bidang pekerjaan, peningkatan investasi di Indonesia, dan memicu produktivitas tenaga kerja lokal. Sedangkan TKI bekerja di luar negeri sebanyak 276.600 pada 2019, pekerja perempuan mendominasi hampir dari 70 persen dari TKI dan 33 persen dari jumlah TKI bekerja sebagai pekerja domestik,” imbuhnya.

Terkait Industri Kesehatan, Ketua Panitia sekaligus Moderator Rakorbid Diperluas Bidang IX HIPMI I Gusti Nyoman Darmaputra menilai, industri kesehatan di Indonesia potensial namun belum dioptimalkan. Sebanyak 95 persen bahan baku obat impor, 95 persen fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) impor, 60 persennya dari China dan 5 persen dipenuhi produsen lokal.

“Masalah lainnya yaitu industri kesehatan di masa pandemi Covid-19, pelayanan kesehatan di Indonesia yang kurang optimal juga menyebabkan banyaknya orang Indonesia yang berobat ke luar negeri (kesehatan impor), sehingga Indonesia kehilangan USD 700 juta atau setara Rp 7,5 triliun. Jumlah pasien Indonesia yang berobat ke luar negeri pada 2006 sebanyak 350 orang. Sedangkan sebanyak 600 orang Indonesia yang berobat ke luar negeri pada 2015,” pungkas Darma.

Ketua Kompartemen Industri Kesehatan Bidang Ketenagakerjaan, Vokasi, dan Kesehatan BPP HIPMI itu menambahkan, industri alat kesehatan (alkes) mengalami peningkatan sebesar 25,3 persen. Swasembada industri kesehatan Indonesia dapat mengurangi ketergantungan impor, menambah lokal konten mendorong penelitian dan produksi bersama Indonesia, serta mengembangkan bio teknologi dan herbal belum termanfaatkan.

“Selain itu, industri farmasi didukung pemerintah melalui Inpres no 6 tahun 2016 yaitu Percepatan Industri Farmasi dan Alkes mendukung kemandirian obat nasional,” tutupnya.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait