Jakarta, beritalima.com| – Sebagai wartawan, tidak boleh tergantung dengan adanya teknologi AI (artificial intelligence) atau kecerdasan buatan.
“Jika bahan yang akan ditulis diserahkan pada AI, sebenarnya hari itu Anda sudah berhenti jadi wartawan,” ucap Khairul Jasmi, wartawan senior yang juga Pemimpin Redaksi Singgalang, saat diskusi daring kerjasama Perkumpulan Penulis Satupena dan Kreator Era AI soal “Pemanfaatan AI Dalam Dunia Jurnalistik, di Jakarta (21/11).
Jadi, tambah Khairul, AI mungkin perlu sebagai perkakas kerja, tetapi bukan untuk mencurahkan isi pikiran. Sehingga, kata anggota Forum Pemred itu, jika pilihan kerja atau bakat kita adalah menulis atau menjadi wartawan, maka sebaiknya menghindari AI.
Khairul sebagai penguji UKW (uji kompetensi wartawan) mengakui, “AI perlu sebagai mesin pencari informasi, asal Anda tahu apa yang dicari.”
Makanya, Khairul sangat hati-hati dalam memberi peran informasi pada AI. “Jika membiasakan salin tempel (copy paste), saat itu Anda sudah berhenti jadi wartawan yang sesungguhnya,” kritiknya.
Menurut Khairul, jurnalis boleh mengambil informasi dari AI, tetapi informasi itu harus diolah lagi. “Jurnalis harus bertolak dari terminal fakta, data, dan angka. Jangan mengarang,” terangnya.
Yang ditekankan Khairul, dimana setiap tulisan terbentuk dari karakter individu. Karakter terbentuk karena proses berpikir. Proses berpikir dipengaruhi kebudayaan, sedangkan kebudayaan terbentuk karena bahasa.
“Bahasa tulis jurnalis itu ibarat pedang di tangan pesilat, menyatu, tidak memberatkan. Bahasa adalah kawan setia wartawan,” ungkapnya.
Jurnalis: Rendy/Abri