SURABAYA – beritalima.com, Stella Monica mengajukan pembelaan atau pledoi atas tuntutan satu tahun penjara yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Rista Erna.
Diluar ruang sidang Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, para pendukung Stella menggelar aksi teatrikal dengan mulut di lackband.
Sambil menangis, Stella menyatakan dirinya sengaja dibungkam untuk tidak mengatakan hal-hal jelek tentang klinik LVIORS “Seharusnya sebagai penyedia layanan jasa harus siap menerima feedback baik dan buruk dari konsumennya. Jangan maunya terima feedback yang bagus hanya demi popularitas dan nama baik semata agar dinilai orang sebagai klinik yang tidak pernah gagal mengobati pasien-pasien,” ujar Stella saat membacakan pledoinya.
Stella menambahkan, sudah seharusnya sebagai penyedia jasa, jika ada konsumen sampai memberikan feedback jelek harus mempertanggungjawabkan perbuatan mereka bahkan mengganti rugi atas kegegalan tersebut.
Menanggapi pledoi Stella, kuasa hukum LVIORS HK Kosasih menyatakan kalau Klinik kecantikannya tidak pernah membatasi konsumennya untuk mengungkapkan keluhan atau masalah yang dialami pasien apalagi membungkam, hal itu jelas tidak mungkin dilakukan oleh LViors yang notabenenya adalah penyedia jasa layanan kecantikan. “Kalau ada keluhan ataupun hal-hal yang menyangkut perawatan di LViors kita selalu terbuka. Tidak benar kalau kita melakukan pembungkaman,” ujar Kosasi, Kamis (28/10/2021).
Kosasih menambahkan, banyak hal yang sebenarnya tidak diketahui oleh publik terkait bagaimana sebenarnya perkara ini bisa sampai ke ranah hukum. Menurut Kosasih, LVIORS sebenarnya tidak menghendaki kasus ini dibawa ke ranah hukum sampai akhirnya pada tahap penuntutan. Sebaliknya LVIORS justru menuruti apa yang dikehendaki Stella sendiri. “LVIORS dan juga pihak kepolisian sudah berulangkali menyampaikan ke Stella agar persoalan ini diselesaikan secara kekeluargan. Namun, Stellah yang meminta diselesaikan secara hukum. Tapi dalam pemberitaan media justeru Stella menguraikan bahwa dia adalah pihak terdzalimi sampai akhirnya dibawa ke ranah hukum,” ungkap Kosasih.
Kosasih menambahkan, setelah Stella berobat ke LVIORS dan sudah sembuh, Stella tidak datang ke klinik di Jalan Kayun tersebut melainkan mendapatkan perawatan di klinik lain. Stella sudah tidak melakukan perawatan dan pembelian produk di klinik LVIORS dan tiba tiba menjelek-jelekan LVIORS padahal sudah menjalani perawatan di klinik lain. “Curhatan yang ditulis Stella bukan sekedar curhat, tetapi menyebutkan fakta tidak benar dan menggiring opini publik yang menyebabkan kerugian besar bagi klinik LVIORS,” tandasnya.
Kosasih menambahkan, bukan cuma konsumen yang mendapat perlindungan. Namun pihak instansi apapun juga berhak mendapat perlindungan apabila konsumen menyebabkan kerugian matreiil bagi instansi tersebut. “Dalam persidangan pun Jaksa sudah mengungkap bukti-bukti yang ada dan hal itu juga tidak ditampik oleh Stella. Artinya, Stella mengakui semua perbuatannya,” tambah Kosasih.
Sebagai catatan pungkas Kosasih, Stella sudah delapan kali kedatangan ke klinik LVIORS dari 24 Januari 2019 dan terakhir kedatangan 19 September 2019. Setelah itu, Stella sudah tidak lagi datang dan pindah perawatan ke klinik lain. Artinya segala kewajiban LVIORS terhadap Stella sudah selesai. Dan Stella juga sudah tidak berhak menuntut apapun ke LVIORS karena dia saat itu juga sudah dinyatakan sembuh. “Dari 8x kedatangan, 5x treatment dan sisanya hanya konsultasi, untuk kedatangan yang seharusnya 2 minggu sekali namun tidak selalu datang sesuai waktu yang ditentukan,” ungkap Kosasih.
Sementara Habibus Shalihin penasihat hukum terdakwa mengatakan yang pada intinya dalam nota pledoinya kliennya merupakan konsumen yang seharusnya mendapatkan perlindungan sesuai Umdang-Undang konsumen.
Habibus juga mengatakan tekait legal stabding yang memberikan surat kuasa terhadap salah satu dokter di LVIORS untuk malaporan kliennya. “Disitu ternyata kelihatan di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum bahwa yang memiliki hak sebetulnya adalah direksi, menurut UU perseroan terbatas. Namun ketika dilihat identitas yang memberikan surat kuasa tidak memiliki struktur di Ditjen AHU yang bernama Budi Santoso,” kata Habibus.
Di point selanjutanya Habibus juga mengatakan tuntutan JPU itu tidak mengacu terhadap SKP yang sudah dikeluarkan Menkominfo, Kapolri dan Jaksa Agung terkait dangan pasal 27 ayat 3 UU ITE. “Yang mana pasal 27 ayat 3 jelas korbannya bukan perusahaan melainkan perorangan,” ucapnya. (Han)