JAKARTA, Beritalima.com– Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia, Muhammad Anis Matta mengingatkan Pemerintah lebih serius mewaspadai soal ketimpangan ekonomi, karena bisa dimanfaatkan ‘global player’ atau kekuatan asing untuk membuat kekacauan di dalam negeri.
Hal itu dampak ‘perang’ supremasi Amerika Serikat (AS) dengan China di Afghanistan pasca kemenangan Taliban yang bisa menjadi ‘residu’ bagi keamanan di Indonesia.
Berdasarkan pengamatan, ketimpangan ekonomi di Indonesia terkait dua isu, yakni agama dan etnis. Kemiskinan ini banyak dialami umat Islam. Yang dominan di perekonomian adalah China.
“Ini, bakal dimanfaatkan global player yang masuk ke Indonesia dengan menciptakan kekacauan di negeri ini. Pemerintah harus menangani ini secara serius,” papar Anis saat menjadi narasumber dalam Webinar Moya Institute bertajuk ‘Dampak Berkuasanya Kembali Taliban Bagi Keamanan Indonesia’, akhir pekan ini.
Selain Anis Matta, webinar itu juga diisi mantan KSAU Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim, mantan Duta Besar RI untuk PBB Makarim Wibisono, pengamat Politik Internasional Imron Cotan dan Direktur Eksekutif Moya Institute Hery Sucipto sebagai pemantik diskusi
Menurut Anis, masalah ketimpangan ekonomi akan menjadi lebih serius apabila krisis ini berlanjut lebih lama, sementara pemerintah tidak bisa menciptakan pertumbuhan dan menyerap tenaga kerja.
Disamping itu, masyarakat juga akan dihadapkan pada adanya ancaman bencana alam dalam beberapa bulan ke depan.
Kondisi itu, tentu saja akan menambah beban hidup masyarakat semakin berat dan kemiskinan di Indonesia meningkat, sedangkan perekonomian didominasi etnis tertentu.
“Global player ini bisa menimbulkan sentimen etnis, karena kemiskinan ini banyak dialami umat Islam. Ini yang saya katakan, bisa menimbulkan ancaman keamanan dalam negeri,” kata Wakil Ketua DPR RI Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat (Kokesra) 200-9-2004 ini.
Ditegaskan, Indonesia menjadi target ‘global player’ karena merupakan salah satu spot perang supremasi antara AS-China, yakni di Laut China Selatan.
Sebab, wilayah Indonesia di Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau ini berbatasan langsung dengan Laut China Selatan.
Sementara Pemerintah China telah mengklaim perairan Natuna bagian dari Nine-Dash Line (sembilan garis putus-putus).
Pemerintah Indonesia telah mengganti nama perairan Natuna yang masuk dalam perairan Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara.
Karena itu, lanjut Anis, pemerintah perlu mewaspadai dampak perang supremasi itu.
Sebab, bukan mustahil Indonesia akan terseret dan terlibat perang di Laut China Selatan, apabila perang supremasi antara AS-China semakin memanas.
Namun, Anis memberikan catatan penting mengenai kesiapan militer Indonesia dalam keterlibatan perang di Laut China Selatan, bila perang benar-benar terjadi.
Ingat, di Militer Indonesia ini, sudah puluhan tahun tak punya pengalaman perang besar sehingga bagi Indonesia, lebih baik fokus pada ancaman krisis berlarut yang kemungkinan akan berlangsung lama, karena dampaknya serius menimbulkan ketimpangan ekonomi dan kemiskinan.
Sementara mengenai kondisi Afghanistan yang kini dikuasai Taliban, pria kelahiran Waledo, Bone, Sulawesi Selatan, 7 Desember 1968 ini yakin hal itu tidak berdampak besar bagi keamanan Indonesia. Sebab narasi yang dibawa Taliban sudah sangat berbeda dengan era 1990-an.
“Taliban kini memberi pengampunan pada orang-orang yang bekerja dengan pemerintah sebelumnya. Taliban kini juga menyatakan diri sebagai Imarah Islamiyyah, bukan Khilafah Islamiyyah, yang artinya Taliban hanya ingin berdaulat di teritori Afghanistan,” demikian Muhammad Anis Matta. (akhir)