JAKARTA, Beritalima.com– Wakil rakyat dari Dapil II Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Suryadi Jaya Purnama mengatakan, wajar kalau UU Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) mendapat penolakan dari masyarakat mengakibatkan terjadinya gelombang demo hampir di seluruh kota di tanah air.
Yang turun ke jalan melakukan protes, tidak hanya buruh yang merasa dirugikan dengan UU inisiatif Pemerintahan pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tersebut tetapi juga mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi di tanah air, massa dari organisasi masyarakat keagamaan seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Soalnya, papar Suryadi kepada Beritalima.com akhir pekan ini, UU yang disahkan pada Rapat Paripurna DPR RI 5 Oktober 2020 itu penuh dengan kontroversi mulai sejak awal pembahasannya di DPR RI sampai kepada hal subtansif sehingga menjadi perhatian publik.
“Prosesnya tidak sesuai kaidah pembentukan Undang-Undang. Terlebih hasil finalnya berubah-ubah yang terlihat dari terbitnya beberapa versi UU Ciptaker dengan jumlah halaman berbeda-beda. Terakhir telah terbit UU Ciptaker 1187 halaman. Padahal, sebelumnya dikatakan UU Ciptaker yang final 812 halaman,” kata Suryadi.
Perubahan tersebut, lanjut anggota Komisi V DPR RI itu, menimbulkan banyak kecurigaan. Karena itu, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI melakukan investigasi terhadap setiap versi yang telah terbit.
Investigasi yang dilakukan tim dari Fraksi PKS ditemukan perubahan cukup substansial yaitu diubahnya Pasal 50 UU Ciptaker angka 7 dimana pada Pasal 42 ayat 3 UU No.1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
Dikatakan Sueyadi, dalam pasal itu terdapat kalimat yang diubah yaitu “….keterbangunan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf d diatur dalam Peraturan
Pemerintah” menjadi “….keterbangunan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf e diatur dalam Peraturan Pemerintah”.
Perubahan ini, lanjut dia, terlihat sepele tetapi sangat mengubah substansi karena pada awalnya yang akan diatur lebih lanjut dalam PP adalah implementasi dari ketersediaan prasarana, sarana dan utilitas umum dimana sesuai dengan penjelasan Pasal 50 UU Ciptaker angka 7, pasal 42 ayat 2 huruf e disebutkan bahwa ketersediaan prasarana, sarana dan utilitas umum termasuk dalam komponen keterbangunan perumahan. Artinya kalimat awal “….keterbangunan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf d…” adalah kalimat yang sah dan sesuai dengan penjelasan tersebut.
Tetapi dengan diubahnya kalimat tersebut menjadi “….keterbangunan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf e diatur dalam Peraturan Pemerintah”, maka sekarang yang akan diatur dalam PP adalah implementasi dari angka 20 persen dalam prosentase keterbangunan perumahan, sesuai dengan penjelasan Pasal 50 UU Cipta Kerja angka 7, pasal 42 ayat 2 huruf e, maka yang masuk ke dalam pengaturan dalam PP tidak hanya ketersediaan prasarana, sarana dan utilitas perumahan, namun juga jumlah terbangunnya rumah dari total unit yang tersedia.
Perlu diketahui bahwa dibandingkan UU Eksisting, pengubahan pasal ini memperlihatkan bahwa angka keterbangunan perumahan sebesar 20 persen menjadi perhatian karena secara khusus akan diatur lebih lanjut dalam PP.
Apalagi pada awal draft RUU Ciptaker prosentase keterbangunan itu sempat akan dihilangkan tetapi telah diperjuangkan Fraksi PKS untuk dipertahankan sebagai bagian perlindungan terhadap konsumen. Selain itu pada UU Eksisting prosentase keterbangunan ini juga tidak diatur lebih lanjut dalam PP karena sudah memiliki penjelasan yang cukup.
“Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perubahan berbagai versi UU Cipta Kerja ternyata tidak hanya mengubah format saja tetapi juga terdapat pengubahan substansi UU Ciptaker,” demikian Suryadi Jaya Purnama. (akhir)