Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)
Sebagai ASN, ini adalah untuk kali kelima saya mengikuti pemilu di luar daerah, setelah sebelumnya selama 4 kali Pemilu ( 1992, 1997, 1999, 2004) juga berada di luar Jawa (Nusa Tenggara Timur). Meskipun hampir sebagian besar hidup saya sebagai ASN juga selalu berada di luar daerah (yaitu 2004 sampai 2022) karena masih di Jawa, saya hampir bisa menyempatkan diri bepesta demokrasi kampung. Tetapi kali ini ketika harus berada di luar Jawa lagi ( Papua ) dengan jangkauan ribuan kilometer dan yang pasti tidak bisa ditempuh transportasi darat, memang tidak memungkinkan untuk menggunakan hak pilih bersama keluarga di rumah. Yang pasti, seingat saya tidak pernah dengan sengaja ikut golput, sebuah akronim dari “golongan putih”, yaitu untuk menyebut sebagian warga negara yang dengan sengaja tidak mau ikut pemilihan umum.
Oleh karena keberadaan saya sebagai ASN, Anda tentu tidak perlu tahu siapa pilihan saya. Saya sadar betul sesuai aturan, saya harus netral. Karena saya tahu, bahwa dalam UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN termaktub, bahwa ASN wajib menjaga netralitas. Netralitas yang dimaksud adalah tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh mana pun dan tidak memihak kepada kepentingan lain di luar kepentingan bangsa dan negara, termasuk kepentingan politik. Oleh karena itu, gegara menggunakan hak pilih, Anda tidak perlu ikut-ikutan menstigma saya dengan stigma sebagai ASN parsial. Mungkin ada sebagian ulah para oknum ASN lain, yang selama proses perhelatan politik nasional ini, dengan tegas menunjukkan keberpihakan kapada salah satu kontestan tertentu atau bahkan secara vulgar mendukung pasangan calon presiden tertentu. Mungkin mereka sedang lupa atau pura-pura lupa, atau bahkan, sengaja meskipun sudah ada sejumlah aturan tertulis yang melarang. Pilihan saya terhadap pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya Allah dan tentu saya sendiri yang tahu, termasuk ketika tangan saya mengayunkan jarum menuju paslon yang mana. Bagi saya apakah paslon yang saya pilih kalah atau menang tidak penting. Yang paling penting, pemilu yang oleh kemenkeu telah dialokasikan anggaran untuk Pemilu 2024 yang Rp71,3 triliun itu, dapat berlangsung dengan tanpa mengurangi ekspektasi kriteria sebuah pemilu ideal (jurdil dan luber), sekaligus bisa berjalan dengan sukses dan aman.
Kepada paslon yang kebetulan tidak saya pilih tentu tidak perlu kecewa. Sebab, dari awal, saya sudah terlanjur berkomitmen, bahwa semua paslon merupakan putra-putra terbaik bangsa. Hanya saja saya memang harus seperti waarga negara lainnya. Saya harus ikut pemilu sekaligus sebagai pemilih yang baik, tetapi tentunya saya bukan sebagai peserta memilu yang baik, kalau saya harus mencoblos ketiga gambar paslon sekaligus. Bagi saya siapa pun presiden terpilih adalah presiden Indonesia dan bukan presiden para pemilihnya. Sebagai presiden Indonesia tentu presiden saya juga. Kalau dia membangun saya akan menikmati hasil pembangunannya. Kalau dia membangun jalan, tidak mungkin dia melarang saya melewatinya. Dan, sebagai ASN kalau dia mengeluarkan kebijakan kenaikan gaji, pasti saya pun akan menikmatinya. Saya tidak ingin menjadi seperti oknum sebagian ASN yang mencela presiden saat dia tidak menaikkan gaji tetapi tidak berterima kasih ketika tiba-tiba presiden membuat kebijakan yang menguntungkan ASN.
Yang pasti siapa pun presidennya, sebagai orang yang terlanjur menjadi warga negara Indonesia, tentu tidak mungkin saya harus keluar dari negara yang menjadi tumpah darah saya sendiri, hanya karena paslon pilihan saya, misalnya, kalah. Yang penting dengan ikut memilih, setidaknya saya sudah ikut berpartisipasi terhadap sebuah proses kenegaraan yang lazim disebut sebagai “Pesta Demokrasi” ini.
Artikel yang saya tulis beberapa saat setelah mencoblos dan beberapa jam sebelum hitung cepat (Quick Count) di-release ini, hanya dimaksudkan untuk mengajak semua elmen bangsa cooling down. Masih banyak problem kita baik sebagai pribadi atau bangsa yang memerlukan kiprah tidak hanya oleh presiden dan wakil presiden terpilih, tetapi juga oleh seluruh anak bangsa. Dan, yang perlu kita camkan adalah, bahwa pemilu hanya sebuah sarana dan bukan tujuan. Bagi kita semua, khususnya para politisi, pemilu telah mengajarkan banyak hal mengenai kemenangan dan kekalahan. Hanya saja, pada akhirnya yang menang memang tidak perlu menunjukkan kejumawaan, yang kalah tidak perlu larut dalam kekecewaan.. Wallahu A’lam.