SURABAYA, Beritalima.com | Sebagai propinsi terbesar produksi padi dengan hasil 5,7 juta ton, Jawa Timur memastikan tidak akan melakukan impor beras. Bahkan, Gubernur Khofifah viral dalam sosial media melalui permintaannya agar Bulog memborong beras petani. Hal ini menjadi perhatian banyak pihak, tak terkecuali para aktivis Perempuan Tani HKTI.
“Salut dengan Ibu Gubernur yang memastikan bahwa Jatim memang berhasil mempertahankan komoditi pertanian,” jelas Shofi Shofiyah, pengurus DPD Perempuan Tani HKTI Jatim dari Bangkalan.
Hal sama dijelaskan oleh Yuliana Riama, Ketua DPC Perempuan Tani Kabupaten Malang di sela-sela giatnya panen raya bersama petani di Randugading (25/3).
“Petani di Malang senang dengan sikap Gubernur menyampaikan fakta lapangan. Karena memang Jatim, termasuk Malang, memiliki produksi padi yang melimpah. Semoga Jatim juga turut membantu supplai di propinsi lain.”
Bukan hanya ketegasan penolakan impor beras untuk regional Jatim, Pemprov Jatim pun menuai respon positif terkait kebijakan menstabilkan harga cabai.
“Pemprov Jatim telah menunjukkan upaya menstabilkan harga dan keseimbangan supply demand melalui optimalisasi peran Satgas Pangan bersama Tim Pengendali Inflasi Daerah. Ini harus kita apresiasi dan semoga persoalan cabai, termasuk antisipasi jika terjadi penurunan komoditas, berjalan lancar di lapangan”, jelas Dr. Lia Istifhama, Ketua PTHKTI Jatim.
Seperti kita ketahui, persoalan cabai memang menjadi perhatian Pemprov Jatim. Dijelaskan oleh Kepala Dinas Pertanian, Dr. Hadi Sulistyo, bahwa Jatim selalu mengupayakan kestabilan harga cabai.
“Harus diakui, secara periodik luas panen tanaman aneka cabai di bulan Januari hingga Februari memang relatif rendah dan baru akan mengalami puncak panen di bulan April hingga Mei. Jadi wajar jumlah menurun, apalagi curah hujan saat ini cukup tinggi di beberapa kabupaten sentra cabai yaitu di Bojonegoro, Jember, Gresik, Kediri dan Lumajang. Menurunnya komiditi ini juga diikuti kebutuhan propinsi lain yang defisit cabai sehingga tetap harus disuplai oleh Jatim”, jelasnya saat dihubungi via selluler (25/3).
“Memang tidak mudah mengatasi tingginya disparitas harga cabai. Namun bukan berarti Pemprov diam, melainkan melakukan beberapa upaya dalam rangka stabilisasi harga, antara lain penyusunan pola tanam dan optimalisasi satgas pangan yang memiliki tugas utama mengatur keseimbangan produksi dengan kebutuhan. Sebagai contoh jika produksi lebih besar dari kebutuhan, maka didorong strategi penyimpanan cabai sehingga dapat dilakukan mekanisme tunda jual. Kemudian pengelolaan pasca panen langsung melalui olahan UMKM, dan sebagainya. Sebaliknya jika produksi kurang, maka dilakukan strategi gerakan tanam dan memonitor mana daerah yang surplus dan defisit.”
Untuk diketahui, harga cabai sekarang memang mulai menurun meski kurang signifikan. Sebagai contoh di Desa Bhirowo Blitar yang dijelaskan oleh pak sabar selaku petani setempat, bahwa harga cabai mulai menurun di sekitar 100 ribu per kg, setelah sebelumnya selalu di atas Rp. 100.000. (red.)