Jakarta, beritalima.com| – Sebuah acara menarik digelar di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta (26/11) membawa pesan penting tentang 60 tahun tragedi 1965, yaitu untuk berani bersikap jujur dan terbuka serta mencari penyelesaiannya.
Acara yang digelar sejak pagi jam 10.00 hingga malam hari (20.00), dikemas dengan model drama atau teater (meminjam pementasan Augusto Boal asal Brasil), di mana penonton hadir bisa sekaligus aktif menanggapi dan bahkan naik ke panggung memberikan komentar.
Sehingga, kegiatan setengah hari yang dihadiri lebih dari 300 peserta dari berbagai daerah ini terasa hidup. Ada bedah buku, ada testimoni korban kemanusiaan tragedi 65 yang dapat didengar lewat saluran telpon, dan beragam aksi persaudaraan lainnya.
Singkat cerita, acara yang mengusung tema “Resiliensi: Melenting Melampaui Tragedi”, ingin mengajak masyarakat luas untuk sadar dan paham tentang musibah nasional yang menyedihkan pada 1965 dan setelahnya pernah terjadi di Bumi Pertiwi.
Yang hadir mayoritas adalah keluarga korban kemanusiaan 1965, baik yang menjadi tahanan politik, disiksa, direnggut nyawanya, dirampas hak asasi manusianya, serta korban lainnya.
Dubes Indonesia untuk Filipina, Agus Widjojo, dimana keluarganya termasuk Pahlawan Revolusi, hadir secara daring mengakui, kalau kejadian 60 tahun lalu ini harus diselesaikan dengan baik. “Ini kejadian dibuat oleh kita-kita sendiri, kenapa tidak bisa diselesaikan,” tanya Agus pensiunan Jenderal TNI bintang tiga.
Agus menawarkan alternatif penyelesaian dengan model rekonsiliasi, sehingga mengubur rasa dendam masa lalu. “Rekonsiliasi lebih bersih utk membangun sebuah dignity dari masyarakat baru indonesia,” ajak Agus.
Sedangkan Sidarto Danusubroto, mangan Ketua MPR dan Dewan Pertimbangan Presiden menyebut, negara terlibat dalam kejahatan kemanusiaan pada tragedi 65.
“Kita belum mampu mengelola negara yang majemuk di tengah situasi internasional,” jelas Sidarto. Oleh karenanya, ia meminta agar tempat bersejarah dimana pernah ada kekerasan kemanusiaan seperti di Pulau Buru dan Rumah Tahanan Politik Nirbaya, mesti dibangun prasasti.
“Generasi muda harus tahu kalau dahulu pernah ada pelanggaran berat HAM pada masa lalu. Jangan malu,” ungkap Sidarto.
Jurnalis: abri








