DEPOK,beritalima.com
Dewan Kesehatan Rakyat menyatakan tegas menolak kenaikan iuran BPJS yang direncanakan oleh Pemerintah. Karena jaminan kesehatan adalah hak rakyat yang tidak bisa diperjual belikan. Hal ini ditegaskan oleh Roy Pangharapan, Ketua Dewan Kesehatan Rakyat (DKR), Roy Pangharapan kepada pers di Jakarta, Jumat (19/9) saat aksi relawan dan keluarga pasien ke Kantor Walikota Depok dan Kantor BPJS Kesehatan.
“Kok pemerintah malah makin melanggar undang-undang Keputusan pemerintah menaikkan iuran BPJS tidak masuk akal. Sebelum naik saja masyarakat tidak sanggup bayar. Apalagi dinaikkan. Jadi pemerintah koq memeras rakyat,” tegasnya.
Ia memastikan, menaikkan 100% iuran BPJS Kesehatan semakin memberatkan bagi rakyat miskin dan tidak mampu yang sudah tidak mampu bayar iuran. Sementara kesehatan adalah hak rakyat yang paling azasi yang sudah dijamin oleh UUD’45 dan Undang-Undang No 39/1999 tentang Hak Azasi Manusi (HAM) yang meratifikasi konvensi internasional.
“Rakyat Indonesia memiliki hak untuk hidup yang dijamin pasal 4 oleh Undang-Undang No 39/1999 Tentang Hak Azasi Manusia. Kehidupan rakyat seharusnya tidak boleh diperdagangkan. Koq malah pemerintah menaikkan iuran BPJS 100%. BPJS itu melanggar Undang-Undang HAM,” tegasnya.
Sebaliknya Roy Pangharapan menegaskan seharusnya pemerintah RI menghentikan Sistim Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang telah mengkomersilkan jaminan kesehatan.
“Seharusnya sesuai dengan niat Presiden Jokowi untuk meningkatkan kualitas Sumberdaya Manusia (SDM) dengan memastikan kesehatan rakyat secara cuma-cuma agar mendapatkan kepastian untuk hidup sehat,” tegasnya.
Ia menegaskan tidak masuk akal kalau Presiden Jokowi menginginkan peningkatan kualitas SDM tetapi, rakyat diwajibkan bayar iuran BPJS Kesehatan dengan ancaman sanksi dan pidana.
“Itu namanya merampas dan menjual hak rakyat untuk hidup. Sehingga rakyat harus bayar setiap bulan untuk mendapatkan jaminan kesehatan agar bisa selamat dari penyakit,” tegasnya.
Lebih mendasar lagi menurutnya, mukadimah Undang-Undang Dasar 45 alenia ke empat diperintahkan untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia.
“Bahkan dalam pasal 28 H, UUD 45 Pasal 28H ayat (1) menegaskan, setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan,” tegasnya lagi.
*Kembali Ke Jamkesmas*
DKR memastikan bahwa SJSN dan BPJS telah sampai pada jalan buntu yang tidak bisa diperbaiki lagi. Semakin lambat mengatasi masalah BPJS hanya akan memperluas persoalan kesehatan rakyat dan kerugian negara akibat menutupi defisit.
“Sudah waktunya pemerintah mengambil alih urusan jaminan kesehatan sesuai perintah UUD’45 dan Undang-Undang No 39/1999 tentang HAM. Kembali saja ke Jamkesmas yang pernah diterapkan oleh Menteri Kesehatan Siti Fadilah,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa dulu Jamkesmas mengkover jaminan kesehatan untuk seluruh rakyat Indonesia di kelas 3 di seluruh rumah sakit dan puskesmas dengan dana APBN untuk semua penyakit.
Pada tahun 2009 dana APBN untuk Jamkesmas sebesar Rp 6,7 triliun untuk mengkover 86,7 juta orang di kelas 3 seluruh rumah sakit dan puskesmas. Tanpa ada pungutan iuran dari masyarakat.
“Setiap tahunnya masih bersisa 10% yang dikembalikan ke kas negara untuk dipakai tahun depannya. Semua tagihan rumah sakit dibayar, tanpa ada tunggakan, seperti saat ini,” ujarnya.
Saat itu Puskesmas diseluruh Indonesia dibayar secara kapitasi,- belum ada pasien, puskesmas sudah dikucurkan dananya. Sehingga puskesmas bisa lebih cepat melayani.
“Tidak sulit buat Presiden Jokowi untuk membandingkan Jamkesmas dengan jaminan kesehatan yang dijalankan oleh BPJS saat ini. Karena dulu waktu jadi Walikota Solo, Jokowi pernah ikut menolak UU SJSN dan menjalankan Kartu Solo Sehat,” tegasnya. (Yopi)