BANDUNG, beritalima.com | Situasi zaman yang terus berubah dengan penuh ketidakpastian, menyebabkan tingkat stress masyarakat dan/ atau seorang pemimpin semakin tinggi. Jika tidak memiliki ketangguhan dan ketabahan mental, seringkali bawaannya ingin marah, membentak atau berantem.
Untuk mengetahui lebih dalam masalah ini, media menemui Pakar Kepemimpinan Kontemporer Dede Farhan Aulawi di kediamannya di Bandung pada hari Kamis (29/5). Ketika ditanya tentang kriteria kepemimpinan kontemporer, Dede menjelaskan bahwa disamping masalah intelektualitas seperti kecerdasan, kreativitas dan berwawasan luas, juga sangat diperlukan kesiapan mental untuk menghadapi keadaan yang tidak terduga dan tidak dikehendaki. Dengan istilah sederhana, kecerdasan dalam menata emosi. Coba saja bahwa seorang pemimpin harus mampu mengambil keputusan yang berani, cepat dan tepat dalam situasi sulit. Padahal boleh jadi sikapnya belum tentu dimengerti yang lain. Akhirnya banyak hoax dan fitnah, yang pada akhirnya bisa memancing emosi. Jelas Dede.
Ia juga menambahkan bahwa seorang pemimpin harus terbiasa untuk tetap tersenyum ramah meski hatinya dongkol atau bahkan ingin menangis. Tetap mau merangkul, meski nafsunya ingin memukul. Mampu memberi maaf sebelum orang meminta maafnya. Mampu memberi, sebelum rakyat memintanya. Ini semua berkaitan dengan ketangguhan mentalitas. Inilah sikap mental yang dimiliki oleh para pemimpin di semua jenjang.
Dede juga menambahkan agar seorang pemimpin harus selalu dekat dengan rakyatnya. Jangan dekat saat ada maunya saja. Kunjungi pesantren, kiai dan para tokoh di setiap kesempatan dengan disengaja, bukan karena kebetulan lewat saja. Rangkul kaum papa yang lemah, dengarkan keluh kesahnya dengan hati yang ikhlas.
Buat terobosan dengan ide dan gagasan segar yang membumi. Bukan dengan konsep diawang-awang yang tidak bisa dinikmati orang kecil. Lihatlah di sekitar kita, maka harus lahir ide kreatif yang realistis dan konkrit. Tataplah tatapan mata masyarakat miskin yang sudah tak bisa lagi menangis karena air matanya sudah habis dalam mengarungi samudera penuh derita. Rintihan kaum papa itulah yang bisa langsung tembus ke langit dan menggetarkan Arasy kerajaan-Nya. Di sinilah kecerdasan spiritual akan merespon gesit dengan sabar dan ikhlas, lalu berserah diri dengan penuh tawakal dan prasangka baik. Akhirnya sudut pandang nya akan selalu optimis untuk menyemai berbagai benih kebaikan di ladang tandus dengan jiwa penuh pengabdian. Ia harus mampu menghias mendung nya langit, menjadi gugusan pelangi dengan ornamen -ornamen senyum kebahagiaan. Ungkap Dede mengakhiri pertemuan. (rr)