Jakarta, beritalima.com — Dekarbonisasi industri kian menjadi kebutuhan mendesak bagi sektor manufaktur nasional di tengah meningkatnya tekanan regulasi, tuntutan pasar global, serta transformasi rantai pasok internasional. Industri Indonesia tidak lagi hanya dituntut tumbuh, tetapi juga beroperasi secara efisien, rendah emisi, dan berdaya saing global. Menjawab tantangan tersebut, SUN Energy memperkuat perannya dalam menghadirkan solusi terintegrasi untuk mendorong percepatan penerapan Standar Industri Hijau (SIH) dan memperkuat daya saing industri nasional.
Urgensi ini tercermin dari meningkatnya konsumsi energi sektor industri. Data terbaru menunjukkan konsumsi listrik industri tumbuh 2,66 persen secara tahunan, dengan total volume mencapai 1.165 Gigawatt hour (GWh). Sektor industri saat ini menyumbang lebih dari 40 persen konsumsi listrik nasional, menjadikannya salah satu penentu utama keberhasilan agenda transisi energi dan penurunan emisi nasional. Di sisi lain, sektor industri juga berkontribusi signifikan terhadap emisi gas rumah kaca Indonesia. Berdasarkan berbagai kajian, sektor energi dan industri menyumbang lebih dari 50 persen total emisi nasional, sehingga transformasi industri menjadi kunci pencapaian target Net Zero Emissions 2060. Dalam konteks ini, percepatan adopsi energi bersih dan pemenuhan SIH menjadi faktor penting dalam menjaga keberlanjutan sektor industri yang berdaya saing.
Standar Industri Hijau sebagai Instrumen Daya Saing
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perindustrian terus mendorong penerapan Standar Industri Hijau (SIH) sebagai instrumen utama transformasi industri. SIH tidak hanya mengatur aspek efisiensi energi dan pengurangan emisi, tetapi juga mencakup pengelolaan sumber daya, produktivitas, serta keberlanjutan rantai pasok industri.
Hingga saat ini, lebih dari 150 perusahaan di Indonesia telah memperoleh sertifikasi SIH. Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan penguatan kebijakan nasional, termasuk keterkaitan SIH dengan berbagai instrumen lain seperti Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER), target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), serta komitmen Indonesia dalam Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC).
Tekanan global juga semakin nyata. Industri Indonesia menghadapi penerapan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) Uni Eropa, tuntutan transparansi jejak karbon produk, persyaratan ESG dari investor global, hingga persiapan implementasi Emission Trading System (ETS) nasional. Dalam konteks ini, pemenuhan SIH menjadi prasyarat strategis, bukan sekadar kepatuhan regulasi.
Sri Gadis Pari Bekti, Ketua Tim Dekarbonisasi Industri, Pusat Industri Hijau Kementerian Perindustrian, menegaskan pentingnya transformasi ini.
“Dekarbonisasi sektor industri merupakan prasyarat utama untuk mencapai target emisi nol bersih pada 2050, mengingat besarnya kontribusi emisi dari aktivitas industri. Melalui pembentukan ekosistem industri hijau, yang didukung oleh ketersediaan energi dan teknologi rendah karbon, mekanisme pendanaan yang inklusif, serta kebijakan dan regulasi yang terintegrasi, pemerintah mendorong transformasi industri agar lebih efisien, berdaya saing, dan selaras dengan tuntutan pasar global menuju ekonomi rendah karbon.”
Sejalan dengan arah kebijakan pemerintah dalam mendorong transformasi industri hijau, adopsi energi terbarukan di sektor industri terus menunjukkan tren pertumbuhan yang positif. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), kapasitas terpasang PLTS Atap secara nasional telah mencapai 495 MW per Juni 2025.
Energi Terbarukan sebagai Fondasi Dekarbonisasi Industri
Dalam implementasi SIH, pemanfaatan energi terbarukan, khususnya Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), menjadi salah satu langkah paling konkret dan terukur. Energi surya dinilai strategis karena dapat langsung menurunkan emisi, meningkatkan efisiensi biaya energi, serta meningkatkan ketahanan pasokan listrik industri.
Hingga 2025, SUN Energy telah mengoperasikan lebih dari 300 proyek PLTS di Indonesia dengan total kapasitas terpasang lebih dari 240 MW, tersebar di lebih dari 50 sektor industri. Proyek-proyek ini secara estimasi menghasilkan 322,3 juta kWh listrik bersih per tahun, serta berkontribusi menurunkan emisi karbon hingga 250,8 juta kg CO₂e per tahun.
Pertumbuhan kapasitas PLTS industri pada pelanggan SUN Energy tercatat paling signifikan di lima sektor utama, yaitu semen, FMCG, kertas, kemasan, elektronik dan komponen otomotif, sektor dengan intensitas energi tinggi dan tuntutan efisiensi operasional berkelanjutan. Dari sisi wilayah, pemanfaatan energi surya oleh pelanggan SUN Energy paling banyak terkonsentrasi di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Banten, wilayah yang menjadi tulang punggung industri manufaktur nasional.
Dari Energi Surya Menuju Sustainability-as-a-Service
Menjawab kompleksitas tantangan industri, SUN Energy memposisikan diri tidak hanya sebagai penyedia teknologi energi surya, tetapi sebagai mitra transformasi industri melalui pendekatan solusi keberlanjutan terintegrasi.
CEO SUN Energy, E. Jefferson Kuesar, menyampaikan bahwa dekarbonisasi industri kini telah menjadi kebutuhan strategis.
“Sektor industri perlu bertransformasi agar tetap relevan dan berdaya saing, baik di tingkat nasional maupun global. Tekanan dari regulasi, pasar, dan rantai pasok mendorong industri untuk segera mengadopsi praktik berkelanjutan dengan mengedepankan operasional rendah emisi. Berangkat dari pengembangan energi surya, kami menghadirkan ekosistem
solusi terintegrasi yang memungkinkan industri menurunkan emisi dan meningkatkan efisiensi operasional, mulai dari energi surya, sistem penyimpanan energi, hingga elektrifikasi kendaraan operasional,” ujarnya.
Pendekatan ini tercermin dalam pengembangan ekosistem bisnis SUN, yang mencakup instalasi PLTS industri dan komersial, Energy Storage System (ESS), pengelolaan sumber daya air berkelanjutan, serta elektrifikasi armada kendaraan listrik. Model ini merepresentasikan pergeseran menuju Sustainability-as-a-Service, di mana keberlanjutan dihadirkan sebagai layanan menyeluruh, terukur, dan berorientasi pada dampak bisnis.
Elektrifikasi Armada sebagai Akselerator Dekarbonisasi
Sebagai bagian dari ekosistem tersebut, SUN Mobility berfokus pada elektrifikasi armada kendaraan industri, khususnya di sektor dengan intensitas operasional tinggi seperti pertambangan dan logistik. Melalui pendekatan end-to-end, mulai dari asesmen teknis, simulasi operasional, pemilihan kendaraan, hingga skema pembiayaan fleksibel, SUN Mobility memungkinkan industri bertransisi ke armada listrik dengan risiko yang lebih terukur serta potensi penghematan biaya bahan bakar hingga 85 persen dibandingkan armada diesel konvensional.
Karina Darmawan, CEO SUN Mobility, menegaskan pentingnya pendekatan kontekstual, “Elektrifikasi armada industri tidak bisa diseragamkan. Setiap lokasi memiliki kebutuhan dan tantangan yang berbeda. Karena itu, kami berperan sebagai neutral integrator yang mencocokkan jenis kendaraan, teknologi, dan skema pembiayaan dengan kebutuhan riil di lapangan, sehingga industri dapat beralih ke operasional rendah emisi secara bertahap dan berkelanjutan,” ujarnya.
Dampak Nyata bagi Industri Nasional
Salah satu contoh implementasi SIH dan dekarbonisasi industri adalah PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, mitra bisnis strategis SUN Energy di sektor semen. Perusahaan ini telah mengoperasikan PLTS dengan total kapasitas lebih dari 71 MW di fasilitas produksinya di Citeureup, Cirebon, dan Tarjun, yang seluruhnya telah memperoleh sertifikasi Standar Industri Hijau sebagai bagian dari komitmen perusahaan dalam menerapkan praktik industri berkelanjutan secara menyeluruh.
Head of CCC Indonesia Competence Center Cement PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, Robert Sweigart, menyampaikan bahwa energi terbarukan menjadi elemen penting dalam strategi keberlanjutan perusahaan.
“Transisi menuju energi bersih merupakan bagian dari komitmen jangka panjang kami dalam meningkatkan efisiensi operasional dan mengurangi dampak lingkungan dalam menghadapi perubahan iklim yang kian masif. Pemanfaatan energi surya membantu kami mengelola konsumsi energi secara lebih efisien sekaligus memperkuat kesiapan perusahaan dalam memenuhi berbagai standar keberlanjutan, baik di tingkat nasional maupun global. Bersama SUN Energy, implementasi ini dimulai dari satu lokasi dan kemudian diperluas ke beberapa
fasilitas produksi lainnya, seiring terbuktinya kinerja, keandalan sistem, dan dampak pengurangan emisi yang terukur,” ujarnya.
Ke depan, integrasi energi bersih dengan strategi keberlanjutan perusahaan diyakini akan semakin memperkuat efisiensi energi, menurunkan emisi secara terukur, serta meningkatkan daya saing produk industri Indonesia di pasar global. Melalui kolaborasi lintas sektor dan solusi terintegrasi, SUN Energy mendorong industri nasional untuk mengambil langkah proaktif menuju Standar Industri Hijau sebagai fondasi daya saing jangka panjang dan kontribusi nyata menuju Net Zero Emissions 2060.








