BANYUWANGI Beritalima.com – Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al – Huda yang berlokasi di Dusun Kedunen, Desa Bomo, Kecamatan Blimbingsari, Banyuwangi tak bisa lepas dari Kompol Haji Mustakim. Perwira menengah polisi berdarah Lamongan ini juga mendirikan Madrasah Aliyah (MA) di desa tempatnya tinggal saat ini.
Sejak tahun 1997, MI Al – Huda resmi dia kelola. Kala itu Mustakim masih berpangkat inspektur polisi dua (Ipda) dengan jabatan selaku Kapolsek Arjasa, Polres Situbondo. Tugas tambahan mengelola lembaga pendidikan harus dijalani lantaran mertuanya, H Nursyamsi, sang pendiri sekolah sejak tahun 1954 sedang sakit keras.
Faktor siswa yang minim juga menjadi alasan kenapa Mustakim bersedia mengambil alih beban itu. Saat dikendalikan mertuanya, MI yang dulu berawal dari pendidikan diniyah atau TPQ hanya memiliki 50 murid. Rata-rata siswa dari enam jenjang kelas yang tersedia hanya berjumlah 8-10 orang.
“Waktu itu sekolah MI hanya memiliki 6 ruangan. Dua diantaranya rusak parah sehingga dua ruang lainnya dipaksakan untuk belajar siswa dari jenjang kelas yang berbeda,” katanya membuka obrolan di ruangan Kabag Sumda Polres Banyuwangi, Kamis (19/1/2017).
Perubahan mulai dia jalankan. Ruangan kelas yang rusak diperbaiki. Guru yang tidak bisa diajak maju terpaksa dievaluasi. Buku pelajaran yang tak mampu dibeli para siswa disubsidi menggunakan uang pribadi. Tiap murid tidak hanya satu buku, tapi 4 buku sekaligus. Polisi yang memiliki keahlian di bidang intelijen itu harus merogoh koceknya Rp 7 juta demi mewujudkan kemampuan para siswa binaannya.
“Jaman mertua, para wali murid bayar pakai beras. Beras itu kurang untuk membayar gaji para guru. Uang hasil penjualan kelapa digunakan untuk menutupi kekurangannya,” kisahnya.
Kini, lembaga pendidikan itu telah berkembang. Tahun 2012 akhirnya didirikan sekolah baru, yakni Madrasah Aliyah Al – Huda. Lokasinya di belakang MI Al – Huda. Pendirian MA ini karena kebutuhan pendidikan setingkat SMA di wilayah Desa Bomo memang masih terbatas. Jika dulu muridnya sulit menembus angka 100, kini jumlahnya menjadi 221 siswa.
“Murid MI ada 160 orang dan MA 61 siswa. Semuanya bisa menikmati pendidikan dengan gratis. Tidak ada pungutan SPP, uang ujian maupun uang gedung,” tegas Kabag Sumda Polres Banyuwangi.
Sukses memajukan lembaga pendidikan, bapak tiga anak itu ganti menggerakkan warga Dusun Kedunen agar mau meramaikan masjid. Akhirnya dibangun Masjid Al – Huda yang letaknya bersebelahan antara sekolah MI dan kediaman pribadi Haji Mustakim. Rumah ibadah itu dibangun dua lantai dengan mengadopsi arsitektur modern.
“Usaha itu hanya menjalankan dua wasiat mertua yang meninggal pada tahun 2008. Pesannya, ramaikan masjid dan majukan sekolah. Sebetulnya ingin mendirikan madrasah tsanawiyah. Berhubung di dekat lokasi banyak sekolah serupa, akhirnya urung,” tuturnya.
Meskipun mengelola dua sekolah, Kompol Mustakim tak mau menggantungkan pembiayanya melalui para donatur. Urusan gaji guru dan renovasi gedung tetap diambilkan dari pendapatan pribadinya yang didapat dari berkebun cabe, semangka sampai bawang. Untuk menggaji guru MI, MA plus pengajar TPQ maupun muadzin Masjid Al – Huda, perbulan dia harus mengkucurkan dana kurang lebih Rp 7,5 juta.
“Alhamdulillah, nasib saya baik. Tanam semangka yang lain bangkrut, milik saya justru untung berlipat. Coba tanam bawang di Situbondo ternyata berhasil. Padahal petani di sana banyak yang merugi. Begitupun dengan kebun cabe yang kini saya geluti. Puji syukur hasilnya sangat memuaskan. Ini hikmah dari mengabdikan diri untuk agama dan pendidikan sesama,” ungkapnya.
Pola pikir Kompol Mustakim itu menular pada sejumlah guru yang mengajar di MI Al – Huda. Ida Hustina (37), guru pengajar kelas IV MI Al – Huda mengaku terisnpirasi dengan pembina sekolahnya yang mau berjuang membesarkan lembaga pendidikan atas dasar ikhlas. Langkah itu dia ikuti dengan jalan bersedia tidak menerima gaji dari pihak sekolah karena telah menerima jatah uang sertifikasi Rp 1,5 perbulan.
“Buktinya uang segitu cukup buat memenuhi kebutuhan keluarga. Mungkin ini hikmah dari kerelaan kami belajar ikhlas meski tidak menerima gaji. Di sini susah senang kita alami bersama,” papar guru yang telah mengabdi sejak tahun 2000.
Sikap Ida Hustina dan empat guru lain yang telah mengantongi sertifikat kompetensi sebagai guru pengajar itu dibenarkan Kepala Sekolah MI Al – Huda, Ihya Ulumudin (58). Diakuinya, dari 12 guru 5 orang diantaranya telah tersertifikasi sebagai pendidik. Atas kerelaan mereka pula, akhirnya gaji yang selama ini diterima dialihkan untuk menambah gaji 7 guru lain yang belum mengantongi sertifikasi.
“Dua tahun terakhir gaji para guru kita naikkan. Dari semula Rp 500 ribu menjadi Rp 750 ribu. Semua atas sumbangsih para guru yang ikhlas gajinya dialihkan kepada guru yang lain untuk menunjang kehidupan rekan sejawatnya,” urai lelaki yang menjabat kasek sejak 2003. (Abi)