Oleh Abdul Majid : Pengurus DPW LSM LIRA JATIM
Tragedi COVID-19 belum juga menunjukkan tanda tanda akan reda, rakyat kembali mendapat terjangan Aangin Ribut “UU Omnibus Law” dari epicentrum Istana dan Gedungwakil rakyat. Hal ini sontak menjadi pemicu gelombang penolakan rakyat melalui Kaum Buruh, Mahasiswa dan para plajar SMA dan STM sebagai actor utama pda demonstrasi yang berlansung secara bergelombang di hamper seluruh penjuru negeri.
Menilik jauh sebelum UU Omnibus Law Ciptaka ini disahkan oleh rapat paripurna oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat – RI pada tanggal 6 september 2020, pembahasan pasal-pasal yang termasuk dalam UU ini sudah cukup panas serta banyak mendapatkan protes dari banyak pihak khususnya kaum buruh yang merasa disudutkan oleh UU ini. Disisi lain Istana dan mayoritas wakil rakyat di senayan mengklaim UU ini akan memberikan rasa keadilan bagi banyak pihak khususnya akan berdampak positif bagi iklim investasi. Sebagai warga negara yang paham akan iklim demokrasi di negeri ini, sepertinya kita harus paham bahwa akan selalu muncul aliran pro dan kontra pada setiap kebijakan yang diambil tak terkecuali proses pembahasan dan pengesahan terhadap UU yang sensitive seperti UU Omnibus Law Ciptaka 2020.
Sebagai penulis, saya melihat ada banyak kesamaan pattern “pola gerakan politik” yang diduga dimainkan para oknum elite politik merespon hal hal yang tidak terkonsolidasikan sebelumnya dibelakang panggung politik. Yang pertama, para elite akan membawa issue ini ke permukaan masyarakat dengan segala acrobat tingkat dewa berharap rakyat akan merespon isu yang mereka lemparkan. Kedua, setelah isu ini firal dan menjdi trending topik di media mainstream dan media social mereka akan bermain “playing victim” untuk mendapatkan simpatik rakyat. Ketiga, bagi masyarakat yang sudah menjadi konsumen isu-isu tanpa menganalisis lebih dalam sudah pasti akan menjadi follower dan senjata ampuh untuk dibentur benturkan dengan siapapun yang menjadi rival politik para elite. Yang memprihatinkan adalah hanya karena untuk memberikan tekanan politik, beberapa oknum dengan sengaja memberikan bumbu-bumbu anarkisme dan vandalism untuk memainkan psikologis massa aksi yang reaksioner. Hal ini sedikit memberikan deskripsi teknik dan strategi social engineering untuk mempengaruhi psikologis massa atas persoalan bersama “common sense”.
Secara factual penulis dapat membuktikan teori diatas dengan melihat kegaduhan gelombang penolakan atas disahkannya UU Omnibus Law Ciptaka pada tanggal 8 september 2020 yang berlangsung dengan kerusuhan, kekerasan, penjarahan dan perusakan fasilitas public yang ditaksir mengakibatkan kerugian negara dan masyarakat senilai ratusan milyar selama demonstrasi berlangsung. Yang cangat membuat banyak pihak geram adalah, terlibatnya atau dengan sengaja melibatkan banyak oknum oknum buruh, mahasiswa dan pelajar SMA/STM untuk melakukan aksi anarkis dan vandalis di berbagai daerah. Hal ini yang akan mencemari iklim demokrasi kita dimata dunia, seolah olah kita sudah menjadi bangsa yang barbar dalam merespon seluruh proses demokrasi. Kejadian ini harus dihentikan agar tidak terjdi dimasa yang akan dating khususnya kepada para kaum buruh yang akan memperjuangkan keadilan yang hakiki, para mahasiswa agar lebih intelektual dalam menyuarakan aspirasinya, dan para pelajar SMA/STM agar tidak reaksioner memakan hogs dan fake news yang ditebarkan dengan sengaja oleh oknum-oknum buzzeragar kita tidakterjerembab dalam pusaran kepentingan politik kotor. . Ketangguhan demokrasi “democratic resilience” harus kita bangun dengan spirit menegakkan serta memimplementasikan empat pilar kebangsaan kita yaitu Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, UUD-1945 dan NKRI Harga Mati dalam seluruh nafas kehidupan berbangsa dan negara.