Demokrasi Dan Kebebasan Pun Akan Bertahta di Dunia Muslim?

  • Whatsapp

(Buku Kumpulan Esai 9 Pakar Membahas Buku Denny JA: Jalan Demokrasi dan Kebebasan untuk Dunia Muslim)

– Sebuah Provokasi

Denny JA

Bagaimanakah wajah dunia saat itu? Saat ketika 50 negara yang mayoritas penduduknya muslim hijrah memeluk demokrasi dan kebebasan? Pastilah dunia terasa rumah yang lebih damai, lebih bersinar, dan lebih nyaman untuk tinggal.

Tapi mungkinkah itu? Mungkinkah mayoritas 50 negara muslim berbondong-bondong atau berangsur-angsur hijrah memeluk demokrasi dan kebebasan?

Jawabnya tak hanya mungkin, tapi harus. Ia mungkin karena sistem yang tumbuh di satu negara adalah anak kandung dari dinamika politik, ekonomi, dan budaya.

Terbanglah lebih tinggi melihat lima ribu tahun peradaban. Apa yang kita lihat? Tak lain dan tak bukan yang nampak hanya satu: Yang tak berubah hanyalah perubahan itu sendiri.
Bekerjanya hukum sosial selalu mungkin memaksa 50 negara muslim hijrah memeluk demokrasi dan kebebasan.

Lebih dari mungkin, ia harus! mayoritas 50 negara muslim harus memeluk demokrasi dan kebebasan. Selalu lahir para pemimpi,
pejuang, pahlawan yang inginkan lebih.

Pew Research Center, lembaga peneliti berpusat di Amerika Serikat, menyatakan sejak tahun 2070 nanti penduduk muslim akan menjadi terbanyak di dunia.

Hadirnya negara muslim yang bebas dan demokratis, atau yang sebaliknya, akan mempengaruhi dunia nyaman atau bergolak. Apalagi saat itu, mulai tahun 2070, muslim adalah populasi paling banyak.

Demi dunia yang lebih baik, mayoritas 50 negara muslim harus hijrah memeluk demokrasi dan kebebasan. Yang tersisa kemudian adalah kapan dan bagaimana?

Maka kita pun menyelam mengelaborasi “the social origin of democracy and freedom”. Asal usul dan kekuatan sejarah yang melahirkan demokrasi serta kebebasan itu yang menjadi kunci.

-000-

Sejarah akademik telah mengajarkan kita untuk melampaui dua jenis kesia-siaan. Kesia-siaan pertama adalah pertanyaan apakah Islam dan demokrasi itu sesuai atau tidak? Apakah ajaran Islam dan nilai dasar demokrasi itu compatible?

Ini pertanyaan yang sia-sia karena Islam sebagaimana agama lain, dan konsep besar lain adalah wilayah interpretasi. Selalu tersedia interpretasi dari ujung kiri, tengah hingga ujung kanan.

Di ujung kanan ada ulama dan akademisi tipe Sayyid Abul Maududi (1903-1979) dan Sayyid Qutb (1906-1966). Dengan seluruh pengetahuannya, ia menjelaskan prinsip Islam berbeda dengan demokrasi.

Demokrasi bersandar pada kedaulatan rakyat. Sedangkan Islam bersandar pada kedaulatan Tuhan. Karena Tuhan berdaulat, negara harus dibangun dengan prinsip agama. Negara bagian dari agama. Sedangkan demokrasi memisahkan wilayah agama dan negara.

Namun di ujung kiri, ada pula akademisi muslim yang tak kalah piawai: Abdul Karim Soroush (1945- ). Ia berpandangan sebaliknya. Islam itu selalu berasosiasi dengan demokrasi dan kebebasan.

Menurut Soroush, dan ulama lainnya, ajaran Islam itu bertumpu pada nilai Hurriyah (kebebasan), Adl (justice), Shurah (konsultasi), dan Ijtihad (interpretasi rasional). Inti ajaran Islam ini paralel dengan prinsip demokrasi dan kebebasan.

Di ujung kanan ada gerakan Wahabi. Ia kubu Islam yang konservatif. Kubu ini tak sejalan dengan prinsip hak asasi manusia yang dirumuskan PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa).

Tapi di ujung kiri ada gerakan Progressive Muslim. Ini gerakan yang mendukung wanita sebagai imam sholat bahkan bagi para pria. Gerakan ini juga menyediakan mesjid bagi pernikahan homoseksual.

Pertanyaan apakah Islam selaras dengan demokrasi tak akan memberi kepastian apa pun karena beragamnya interpretasi. Apalagi kita pun membaca sejarah. Apa yang terjadi pada dunia nyata bukan semataproduk sebuah interpretasi agama, tapi juga hasil pertarungan nyata kekuatan sosial, politik dan ekonomi.

Kita pun tak lagi mengulangi kesia-siaan yang kedua. Yaitu membaca masa depan dikerangkeng oleh apa yang ada di masa kini. Misalnya, karena kini di antara 50 negara muslim itu tak ada satu pun yang mencapai tahap Full Democracy, maka demokrasi tak akan berbuah di wilayah muslim.

Memang benar, itulah data mutakhir. Indeks Demokrasi yang dilaporkan Economist Unit Index di tahun 2019 soal Dunia Muslim memang memprihatinkan.

Dari 60 negara mayoritas muslim, 50 negara yang ada datanya, tak ada satu pun yang mencapai kualifkasi Full Democracy. Yang berada di tahap Flawed Democracy hanya 6 persen (3 negara): Malaysia, Tunisia, Indonesia. Yang berada pada tahap Rezim Campuran (Hybrid Regimes) ada 34 persen atau 17 negara.

Sekitar 60 persen negara muslim (30 dari 50 negara muslim) berada pada kasta paling rendah sistem politik: Politik Otoriter.

Namun sejarah mengajarkan pula. Data masa kini adalah produk pertarungan sosial, ekonomi, politik dan kultur masa kini pula.

Masa depan tak terikat masa kini. Kelompok sosial terus tumbuh dan bergolak.
Lihatlah Uni Soviet dan Blok Eropa Timur. Tahun 1946 sampai 1989-an itu wilayah komunisme.

Jika kita melihat data kawasan itu di tahun 1970, misalnya, tentu hal yang mustahil membicarakan kemungkinan di kawasan itu beroperasi sistem politik dan ekonomi di luar komunisme.

Tapi lihatlah sekarang. Di kawasan itu, 29 negara sedang hijrah memeluk demokrasi dan kebebasan. Kecepatan hijrah tentu berbeda-beda antar negara.

Tak ada satu kawasan di bumi ini yang tercipta untuk kontrak mati memeluk satu jenis sistem politik dan ekonomi apa pun seumur zaman.

Lihatlah sejarah peradaban. Apa yang kita sebut dengan kawasan Dunia Barat, Dunia Eropa Timur, Dunia Muslim, semua berubah. Semua hanyalah produk pertarungan dinamika sejarah.

-000-

Demikianlah buku ini dibuat dengan pandangan yang provokatif untuk tiga hal. Pertama, pada waktunya mayoritas 50 negara muslim akan hijrah memeluk demokrasi dan kebebasan.

Gelombang besar peradaban bekerja lebih kuat dari rezim mana pun. Hanya saja perjalanan menuju demokrasi dan kebebasan terjadi secara bertahap.

Kedua, di antara 50 negara muslim itu, Indonesia layak menjadi model. Bukan saja karena Indonesia negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Bukan saja karena Indonesia berhasil mengalami pergantian kekuasaan berkali-kali melalui pemilu (pemilihan umum) yang damai.

Tapi di Indonesia juga tumbuh
kultur politik yang kuat tak ingin menjadi negara agama.

Ketiga, rute awal yang harus ditempuh 50 negara muslim itu menuju demokrasi dan kebebasan adalah demokrasi yang tidak liberal. Demokrasi iliberal menjadi semacam terminal pertama hijrah itu.

Kultur liberal seperti negara yang melegalkan pernikahan homoseks, misalnya, belum bisa dipaksakan di kawasan itu, di masa kini.
Namun zaman terus berubah. Toleransi atas perbedaan agama dan orientasi seksual akan terbentuk melalui waktu.

Prinsip HAM (Hak Asasi Manusia) sudah menjadi gelombang peradaban. Pada waktunya, prinsip itu akan pula diterima dalam ruang publik Dunia Muslim.

Bukankah memang demikianlah sejarah bergerak? Di abad ke-17, misalnya, perbedaan agama mungkin berakhir dengan tindakan saling membunuh. Kini manusia bisa hidup berdampingan dengan keyakinan masing-masing.

Mengapa buku ini menyebut 50 negara muslim? Bukankah negara muslim anggota OIC (Organization of Islamic Cooperation) di tahun 2020 berjumlah 57 negara? Buku ini membatasi hanya pada 50 negara muslim saja, yang mayoritas penduduk muslimnya di atas 50 persen. Dan pula dibatasi oleh ketersediaan data untuk analisa.

-000-

Setelah mengeksplorasi demokrasi dan kebebasan di Dunia Muslim, buku ini selayang pandang menampilkan sejarah demokrasi dan kebebasan di dunia. Tak hanya disinggung demokrasi di Amerika dan Inggris. Tak hanya dibahas sekilas kebebasan di Jerman, Prancis, Rusia, Afrika, tapi juga di India dan dunia ketiga lain.

Saya mengucapkan terima kasih kepada aneka pihak yang membantu lahirnya buku ini. Antara lain AE Priyono dan Fitri Hari yang membantu mengumpulkan data mutakhir.

Kita sedang menunggu gelombang keempat demokrasi dan kebebasan. Gelombang pertama dimulai oleh Inggris dan Amerika di abad 18-20. Gelombang kedua meluas setelah Perang Dunia II. Gelombang ketiga ketika melanda kawasan Komunisme Soviet dan Eropa Timur. Gelombang keempat ialah ketika melanda 50 negara muslim.

Seperti ucapan Victor Hugo: “Tak ada yang lebih kuat dibandingkan gagasan yang waktunya telah tiba.” Gagasan demokrasi dan kebebasan telah tiba di Dunia Muslim.

Sisa waktu milik para pejuang. Merekalah yang akan membuat gagasan itu bertahta.***

Febuari 2020

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait