Oleh : Tri Tejo N
Kant theory, “aim of law is freedom”. (Common Sense in Law, S. Paul Vinogradoff, Oxford University, 1959. h.32). Tujuan daripada hukum adalah kebebasan. Kebebasan sebagai titik awal landasan yang dijadikan model demokrasi liberal. Yang intinya mengedepan kebebasan individu (personal right). Pada akhirnya menelorkan “human rights”, yang kita kenal sekarang dengan hak asasi manusia (HAM).
Model demokrasi liberal, yang mengagungkan kebebasan individu secara mutlak, tentunya tidak sesuai dengan kesepakatan-kesepakatan luhur bangsa, tentang 4 (empat) kesepakatan yaitu : idiologi Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Maka dalam PERPU No.2 tahun 2017 tentang perubahan atas Undang-undang Organisasi Kemasyarakatan. Penjelasan Pasal 59 ayat (4.c) ditambahkan norma hukum “ormas dilarang menganut, menyebarkan, ajaran atau paham lain, selain idiologi Pancasila”. Tentang perubahan atas Undang-undang Organisasi Kemasyarakatan, paham lain ini bisa diartikan idiologi sosial komunisme, islamic radikal, liberistik atau paham lain yang nantinya muncul dikemudian hari, yang dalam orientasi pelaksanaan bertentangan atau tidak sesuai dengan nilai dasar idiologi Pancasila.
PERPU ini, memenuhi asas predektif dan aktisipatif ke masa depan bangsa. Sehingga segala permasalahan berkenaan idiologi sudah dianggap tuntas dan final. Sehingga bangsa, diarahkan secara visioner untuk menghadapi tantangan dan ancaman selain indilogi Pancasila. Bangsa ini, harus belajari move on dari problematika idiologi ini. Masih banyak pekerjaan lain, dalam mengisi anugrah dari Allah SWT, berupa kemerdekaan. Kontribusi produktif bagi kemajuan negara, dengan pelaksanaan gatra-gatra yang lain, seperti politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan (POLEKSUSBUD HAN dan KAM).
Era kepemimpian Trump, Amerika sudah memutar haluannya, tidak lagi liberalistik global. Tetapi, kembali sangat proteksionis dengan nilai-nilai nasionalme. Merubah Globalisasi dunia, dengan poros Amerika, yang dahulu liberatik, dengan slogan “global market”, “universalisme value”. Yang menurut Wallrentein Theory, “Liberalisme” sebuah tatanan yang mengubah menjadi kapitalisme dunia. Liberalisme dunia, dipandang Amerika sekarang, tidak berkeadilan bagi bangsa Amerika.
Diartikan era dunia sekarang adalah “justice value”. Bagi bangsa Indonesia adalah “sosial justice value” yaitu keadilan sosial. Indonesia sudah mempunyai nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai tersebut telah berkembang sesuai perkembangan dizamannya, yaitu : orde lama, orde baru, reformasi pintu gerbang emas menuju demokrasi, telah terlampaui. Ibarat pelaksanaan prisip nilai sila pertama, kedua, ketiga telah selesai tuntas, dan sejak 1998 Era reformasi-demokrasi, nilai pelaksanaan sila keempat, yang ditafsirkan bangsa ini dengan mengagungkan demokrasi dengan kekebasan mutlak telah kita jalani, dengan lahirnya peserta Pemilu 2009 ± 35 (tiga puluh lima) Parpol, demokrasi terbesar didunia.
Maka abad 21, yang menurut beberapa futuruistik motivator, seperti Ippho Santoso, Bim Liem, maka Indonesia akan mengalami siklus 7 abad-an kejayayan. Abad ke-7 Kerajaan Sriwijaya, abad ke-14 Kerajaan Majapahit. Dan menurut tokoh ulama dimulainya Kejayaan Indonesia abad 21, ditahun 2025. Model negara demokrasi yang berkeadilan disegala bidang kehidupan, meliputi IPOLEKSUSBUDHAN dan KAM.
Maka sekarang dimulainya demokrasi berkeadilan, yang tidak lain berlandaskan nilai sila kelima Pancasila “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Prinsip sosial justice yang sangat relevan, dalam menghadapi tantangan dunia (eratic global). Ketidak-pastian dunia, konflik Timur Tengah dengan paham Islamic radikal. Eropa dan Amerika masih terancam isu terorisme. Konflik Philipina dengan ISIS Merawi. Sebuah ancaman yang sangat dekat dengan wilayah kita. Belum masalah global penyeludupan Narkoba. Maka, Indonesia berpotensi terancam. Dan tantangan kedepan.
Indonesia adalah mempunyai daya tarik global, berupa potensi geografi dan demografi.
Maka untuk mengahadapi ancaman dan tantangan, diperlukan sofware yang kuat berupa Idiologi. Idiologi yang menopang sebuah model demokrasi yang berkeadilan, dengan nama demokrasi Pancasila. PERPU 2/2017, sebagai pengingat akan pentingnya kembali kepada sebuah model demokrasi yang berkeadilan tersebut. Model demokrasi yang menaungi kesepakatan besar bangsa akan kehidupan berbangsa dan bernegara, yang akan menginjak umur 72 tahun merdeka.
Anak muda bangsa ini masih belum melek akan sejarah tarik ulur ektrem kanan dan kiri. Kita generasi tua-tua, yang merasa jadi pimpinan ormas sengaja membenturkan kembali hadirnya konflik pertarungan kedua idiologi tersebut. Idiologi Pancasila, dibenturkan ditengah maraknya isu-isu di media sosial. Indonesia diharapkan menemukan passionnya kembali. Albert Einstein, mengatakan, “I have no special talents, but I only passion currious”. Gairah keingin -tahuan yang mengantarkan seseorang menjadi besar.
Bangsa Indonesia, harus menemukan kembali gairahnya. Semangat yang mengelora dalam menemukan demokrasi. Gairah demokrasi yang berkeadilan, bukan demokrasi yang menelan mentah-mentah ekstrem kanan, atau corong ekstrem kiri. Dituntut semua pihak kembali kepada kesepakatan bersama, hidup bersama berbangsa bernegara. Dalam bingkai keindahan demokrasi Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan ke-bhinekaan. Sebagai rahmad bangsa, berupa nikmat yang patut disyukuri, telah melewati perjuangan dan mengorbankan harta, jiwa dan raga para pendahulunya.
Bergairah kembali dalam berdemokrasi, semangat baru, tantangan baru, ancaman baru akan menghadang kita. Tinggal bagaimana kita dalam mengadapinya, apakah hanya dipandang sebagai sebuah ancaman dan tantangan saja. Tetapi, kita harus tahu dibalik ancaman dan tantangan ada sebuah peluang besar bagi negara ini, maju menyambut siklus kejayaan menjadi poros dunia di abad ke-21. Kuncinya adalah demokrasi berkeadilan. Dalam mengisi kemerdekaan menuju tujuan mencerdaskan bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan ikut melaksanakan perdamaian dunia, berdasarkan perdamaian yang abadi yang berkeadilan sosial.
Ada 2 (dua) kata yang sangat sakti yang dilontarkan para ulama dan cendikiawan kita, perangi kebodohan dan perangi kemiskinan. Jika, kita tidak melupakan 2 (dua) kata sakti tersebut, kita akan dapat memperoleh kemenangan dalam menhadapi segala persoalan bangsa, yang mengancam Idiologi. Tidak sekedar kerja-3, tetapi kerja keras, kerja cerdas, berintegritas, produktivitas positif, bermotivatif, kreatif. Yang merasa pemimpin, harus aktif, ikut mendaya guna dan menghasil gunakan potensi yang ada. Bagaimana rakyat ikut bersama berpartisipasi aktif ikut memiliki dan memajukan bangsa ini kedepan.
Oleh :
TRI TEJONARKO ( TRI TEJO N),
LEMHANNAS RI, Taplai Jatim Angkatan I/2014
Pengamat Hukum, Sosial, Demokrasi
PRAKTISI HUKUM/ADVOKAT (± 25 tahun)
/PENGAMAT HUKUM
Pengurus ORMAS KOSGORO
SEKRETARIS LBPH KOSGORO, Propinsi Jawa Timur
Wk.PDK KOSGORO JATIM
Mahasiswa Magister Hukum (UBHARA SBY)
NIK /KTP: 3578021011650003
Jl. Gayungan I/11 Surabaya
HP: 081 2312 7973
No.Rekening : 100 382 6623 , BRI Syariah – Sby.
NPWP : 08-634-643-4-609-000