Oleh: Saiful Huda Ems
Boleh dikata semua mahasiswa yang melakukan aksi hari-hari ini di berbagai daerah merupakan demonstran dari generasi milenial. Mereka kritis, energik dan berani mirip generasi pendahulunya, Demonstran ’98. Bedanya jika Demonstran ’98 itu bergerak di jalanan setelah beberapa tahun melakukan kajian demi kajian, akan tetapi Demonstran Milenial ini jika saya perhatikan bergerak secara spontan atau tiba-tiba, maka hasil yang didapat adalah ketidak sesuaian antara kehendak mereka dengan kehendak masyarakat yang diperjuangkannya. Ujung-ujungnya beberapa kalangan masyarakat menyebutnya dengan Demonstran Nano-Nano.
Rakyat senang ketika KPK menetapkan Imam Nahrowi sebagai tersangka korupsi, tapi sebagian Demonstran Milenial melakukan aksi menolak ditetapkannya Nahrowi sebagai tersangka, dengan alasan KPK (lama) tebang pilih dalam pemberantasan korupsi, tapi disaat yang bersamaan pula sebagian dari mereka juga melakukan aksi dan menolak pengesahan UU KPK serta menolak terpilihnya Firli Bahuri sebagai Ketua KPK (baru) dan menuduh pemerintah telah melakukan pelemahan pada KPK (lama).
Sebagian Demonstran Milenial juga telah terperangkap oleh setting aksi dari sekelompok broker politik yang ingin menjatuhkan dan mengagalkan Pelantikan II Presiden Jokowi 20 Oktober 2019 mendatang, hingga ketika mereka melakukan aksi penolakan pengesahan UU KPK, rencana pengesahan Revisi KUHP, RUU Kemasyarakatan, RUU Pertanahan dan RUU Minerba, sebagian dari mereka malah berteriak turunkan Jokowi. Padahal entah mereka sudah tau atau tidak bahwa Presiden Jokowilah yang meminta agar anggota DPR yang masa tugasnya akan berakhir di akhir bulan September ini dan segera diganti oleh anggota-anggota DPR yang baru terpilih, menunda dahulu semua pengesahan revisi atau rancangan UU itu kecuali UU KPK yang sebelumnya telah Presiden beri catatan (Surat Presiden) yang berisi beberapa hal yang tidak disetujui oleh Presiden Jokowi.
Kebebasan berpikir, bersuara atau menyampaikan pendapat baik melalui tulisan maupun melakukan aksi di jalanan memang dijamin oleh Konstitusi, tidak ada yang salah dari itu semua. Akan tetapi haruslah diingat, bahwa aksi demonstrasi itu seharusnya menjadi pilihan terakhir dari bentuk penyampaian aspirasi. Kondisi Indonesia 2019 ini sangat berbeda dengan kondisi Indonesia di tahun 1998. Jika Demonstran ’98 turun ke jalan setelah Soeharto terbukti selama 32 tahun berkuasa tanpa prestasi, berbeda dengan Demonstran Milenial ’19 yang turun ke jalan disaat Jokowi baru menjabat selama lima tahun dan menciptakan banyak prestasi. Ini sama halnya dengan Demonstran di zaman Habibie, Gus Dur dan Megawati yang pada akhirnya tidak pernah mendapat simpati dari masyarakat dan tak pernah pula tercatat dalam sejarah emas perjuangan konsolidasi demokrasi di Indonesia, bukankah hal ini hanya akan menjadi sia-sia?.
Jangan sampai terulang lagi sejarah pendahulu kalian yang dahulu mendemo Presiden Habibie dan Gus Dur habis-habisan, namun setelah kedua mantan Presiden itu jatuh lalu wafat hampir seluruh Rakyat Indonesia dari berbagai pelosok daerah menangisi kepergiannya. Bahkan makam Gus Dur sampai detik ini dari jam ke jam, hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan dan tahun ke tahun para pengunjungnya semakin pesat ! Apakah kejadian tragis seperti itu yang kalian inginkan, mahasiswa berdemo menggulingkan Habibie dan Gus Dur, tetapi ternyata mayoritas rakyat sangat mencintainya dan menangisi kepergiannya, serta mengutuk para lawan-lawan politiknya?.
Akhir kata, sebagai salah satu inisiator dan penggerak aksi demonstrasi ’98 saya akan mencoba mengingatkan kalian, adik-adik demonstran generasi milenial: Pertama, jangan jadikan aksi demonstrasi itu sebagai pilihan pertama, melainkan sebagai alternatif terakhir dari sebuah kebuntuan menyalurkan aspirasi. Kedua, perbanyaklah melakukan kajian secara konperehensif teehadap persoalan hukum ekonomi dan politik Indonesia sebelum kalian turun ke jalan. Ketiga, pertimbangkan benar-benar terhadap sosok yang akan kalian lawan, benarkah ia telah melakukan pelanggaran konstitusi ataukah tidak. Keempat, jika kalian sudah menemukan isu strategis yang hendak kalian perjuangkan, misalnya menolak disahkannya revisi KUHP, maka fokuslah pada perjuangan satu isu itu saja, dan jangan mau digiring dan diperalat broker politik untuk bergeser dari isu lainnya seperti menjatuhkan dan menggagalkan Pelantikan II Presiden Jokowi yang sudah dipilih oleh rakyat secara sah dan menghabiskan dana lebih dari Rp. 25 trilyun.
Kalian merupakan adik-adik perjuangan kami, maka sudah sewajarnya kamipun bertanggung jawab untuk melindungi kalian. Dan selama darah ini masih mengalir, jantung ini masih berdetak, kami pasti akan terus berusaha membantu dan melindungi kalian. Kami akan pagari pergerakan kalian dari kebusukan sampah-sampah negara seperti Rocky Gerung, Fadli Zon, serta gerombolan ISIS, HTI dan sejenisnya, agar pergerakan kalian tetap murni dan harum semerbak dalam kekekalan zaman, dan tidak membusuk hanya gara-gara kalian tanpa sadar bergerak dengan arah yang bertentangan dari yang dilalui oleh masyarakat Indonesia yang masih waras. Kritis itu adalah simbol tingginya intelektualitas seseorang, tetapi kritis saja tanpa mau belajar dari pengalaman generasi demonstran kalian sebelumnya, hanya akan melahirkan kesia-siaan. Maka belajarlah ! Tetap semangat dan salam jabat erat !…(SHE).
24 September 2019.
Saiful Huda Ems (SHE). Advokat dan Penulis, salah satu inisiator dan penggerak perlawanan terhadap Rezim ORBA Soeharto di Jerman (1991-1995) dan di Indonesia (1996-1998).