Jakarta, beritalima.com | Demo anarkistis baru-baru ini ‘wajib’ membuat semua pihak menaruh concern. Sejak era reformasi 1998 demo seolah menjadi ritual wajib bagi mahasiswa dan masyarakat untuk menyikapi persoalan bangsa. Berkat itu pula, Indonesia kerap disebut sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, setelah Amerika Serikat dan India. Salah satu ciri menonjol dari demokrasi kita adalah terbukanya ruang bagi masyarakat untuk melakukan demonstrasi atas berbagai isu.
Menurut KBBI, demonstrasi berarti unjuk rasa atau pernyataan sikap di hadapan umum. Secara ilmiah, demonstrasi dipahami sebagai bentuk partisipasi politik masyarakat untuk menyampaikan aspirasi, baik dukungan maupun penolakan. Sosiolog Soerjono Soekanto mendefinisikannya sebagai ekspresi kolektif masyarakat untuk menyampaikan pendapat atau tuntutan kepada pihak lain, terutama pemerintah, dengan tujuan memengaruhi kebijakan.
Sebagai negara hukum, Indonesia telah memberi dasar konstitusional bagi kebebasan berekspresi. Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menegaskan: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Ketentuan ini diperjelas melalui UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, yang mengatur tata cara demonstrasi, bentuk-bentuk penyampaian pendapat (unjuk rasa, pawai, rapat umum, mimbar bebas), kewajiban pemberitahuan kepada kepolisian, larangan, serta kewajiban peserta.
Selain itu, sejumlah regulasi lain turut menjadi rambu hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Mengatur larangan penghasutan (Pasal 160), kekerasan terhadap orang/barang di muka umum (Pasal 170), hingga kewajiban membubarkan diri setelah diperintahkan aparat (Pasal 218 KUHP baru).
- UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Memberikan kewenangan kepada Polri untuk menjaga keamanan dan ketertiban dalam demonstrasi.
- UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 25 menegaskan setiap orang berhak menyampaikan pendapat di muka umum, namun dengan batasan demi menghormati hak orang lain, keamanan, dan ketertiban.
- UU No. 11 Tahun 2005 (ratifikasi ICCPR – Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik).
Menjamin hak berkumpul dan berpendapat dengan pembatasan untuk keamanan nasional, keselamatan publik, ketertiban umum, dan perlindungan hak orang lain. - Perkapolri No. 7 Tahun 2012
Mengatur teknis pemberitahuan, pengawalan, serta pengamanan demonstrasi oleh kepolisian.
Dengan demikian, demonstrasi jelas merupakan hak konstitusional sekaligus aktivitas yang diatur ketat oleh hukum.
Pertanyaan mendasar pun muncul: sudahkah para demonstran memahami bahkan sekadar mengetahui rambu-rambu hukum tersebut? Jika belum, pantaskah mereka sekadar meneriakkan tuntutan penegakan hukum tanpa mau menaati aturan main yang berlaku?
Di titik inilah refleksi diperlukan. Demonstrasi memang dijamin oleh konstitusi, namun pelaksanaannya tetap dibatasi oleh hukum pidana, hukum kepolisian, hukum HAM, hingga aturan teknis lapangan. Dalam negara beradab, tidak ada kebebasan absolut tanpa batas. Seperti pernah ditegaskan oleh Prof. Jimly Asshiddiqie: “Demokrasi tanpa hukum akan melahirkan anarki. Sebaliknya, hukum tanpa demokrasi akan melahirkan tirani.”
Kita pun patut merenungkan pesan Eleanor Roosevelt, tokoh HAM dunia: “Freedom makes a huge requirement of every human being. With freedom comes responsibility. Without responsibility, freedom is only chaos.” (Kebebasan menuntut hal besar dari setiap manusia. Bersama kebebasan selalu datang tanggung jawab. Tanpa tanggung jawab, kebebasan hanyalah kekacauan).
Akhirnya patut menjadi concern semua pihak, bahwa demonstrasi bukan sekadar hak, melainkan juga kewajiban moral dan hukum untuk menjaga ketertiban. Bagi mereka yang hanya menuntut kebebasan tanpa konsekuensi, demokrasi bisa berubah menjadi anarki. Namun, bagi masyarakat yang dewasa dan bertanggung jawab, demonstrasi justru menjadi energi positif bagi kemajuan bangsa.






