Dendam Sejarah Sunda-Jawa 7 Abad Silam, Saatnya Dilupakan

  • Whatsapp

Catatan: Yousri Nur Raja Agam

TERNYATA maksud baik Gubernur Jawa Timur Dr.H.Soekarwo menyampaikan pergantian nama dua jalan di Surabaya memancing gejolak. Bahkan penolakan. Rencana penggantian nama dua nama jalan di Kota Surabaya, tidak sertamerta disetujui. Justru, mematik persoalan yang kini menjadi polemik berkepanjangan di mediamassa.

Gubernur Jatim H.Soekarwo, Selasa (6/3/2018), yang menjadi tuan rumah pertemuan bertajuk “Rekonsiliasi Budaya Harmoni Budaya Sunda-Jawa di Surabaya”menghadirkan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan dan Gubernur DIJ (Daerah Istimewa Jogjakarta) Sri Sultan Hamengku Buwono X.

Di saat pertemuan yang diselenggarakan dalam bentuk seminar itu, Soekarwo mengungkap adanya perselisihan yang berawal dari “kesalahpahaman” antara suku Sunda dengan suku Jawa. Peristiwa itu terjadi 661 tahun silam, tepatnya tahun 1357 M, di zaman Kerajaan Pasundan dengan Kerajaan Majapahit. Peristiwa itu dikenal dengan Perang Bubat.

Kendati peristiwa ini terjadi sekitar tujuh abad lalu, namun “dendam sejarah” masih terasa hingga sekarang. Khususnya bagi masyarakat Sunda yang “fanatik”. Sedangkan bagi masyarakat suku Jawa, permasalahan itu, bagaikan tak pernah dipersoalkan.

Begitu “dendamnya” masyarakat Sunda terhadap suku Jawa, akibat perlakuan yang tidak menyenangkan dari petinggi Kerajaan Majapahit kala itu, sampai-sampai di seluruh wilayah Tanah Pasundan seolah-olah “diharamkan” mengabadikan nama Hayamwuruk dan Gajahmada, bahkan nama Majapahit. Apabila kita telusuri kota-kota di Jawa Barat, tidak satupun yang memberi nama jalan yang berhubungan dengan Majapahit, khususnya Jalan Hayamwuruk dan Jalan Gajahmada.

Bagi masyarakat Sunda, secara tutur tinular sudah membudaya kepada anak-cucunya disampaikan bahwa Perang Bubat itu sebuah bukti sejarah “ketidakjujuran” para petinggi Kerajaan Majapahit. Bayangkan, ujar sebagian kaum ibu kepada anak-anak dan cucu-cucunya, putri kerajaan Dyah Pitaloka gugur, bersama ayahnya Maharaja Linggabuana, serta beberapa menteri dan pejabat kerajaan. Padahal, rombongan dari Kerajaan Pasundan itu datang ke wilayah Majapahit dengan baik-baik atas undangan Raja Hayamwuruk yang akan mempersunting Putri Dyah Pitaloka Citraresmi.

Itulah cerita sekilas yang yang sangat berkesan, sehingga menjadi “dendam sejarah” bagi masyarakat Sunda. Tidak hanya itu, sebagian masyarakat Sunda juga menganggap “dosa” yang dilakukan nenek moyang mereka yang berasal dari Majapahit itu, harus juga ditanggung oleh anak keturunannya, yakni masyarakat suku Jawa. Kategori suku Jawa boleh dikatakan, selain Jawa Timur, adalah Jawa Tengah dan Jogjakarta.

Ada lagi yang menarik apabila dikaji pernyataan beberapa kaum ibu di Tanah Parahyangan itu, yang memperingatkan kepada anak perempuannya. Waspada, jangan sekali-kali berpacaran dengan anak laki-laki dari Jawa. Sebab, sebagian orang Sunda tidak suka bermenantu Orang Jawa. Alasannya, ada “penyakit turunan” dari nenek moyang mereka.

Memang, Perang Bubat itu, sangat menyakitkan bagi Orang Sunda tempo dulu. Tetapi, apakah masih demikian dengan masyarakat zaman sekarang, zaman now ini? Namun, sejarah telah menanamkan dendam. Apalagi, di zaman Penjajahan Belanda, legenda ini dijadikan alat untuk “devide ed impera” atau politik pecah belah. Sekarang, disebut masalah SARA (Suku, Agama, Ras san Antargolongan).

Terisinspirasi dari peristiwa itu, dua tahun lalu, dua wakil gubernur yang nama belakangnya sama-sama Yusuf, pernah merencanakan pembuatan Film Perang Bubat versi “damai”. Namun, apa yang direncanakan Dede Yusuf dengan Saifullah Yusuf itu. Belum terwujud.

Sebenarnya, “dendam sejarah” itu sudah berubah dan tidak berlaku di kalangan anak muda. Contohnya, oleh pendukung sepakbola. Kita tahu, selama ini Bonek sebagai supporter fanatik Kesebelasan Persebaya berteman akrab dengan “bobotoh” Viking supporter Persib Bandung. Yang aneh, walaupun berada dalam satu provinsi, justru Bonek “bermusuhan” dengan supporter Kesebelasan Arema, Aremania.

Lain lagi dengan Pakde Karwo – sapaan akrab Gubernur Jatim Soekarwo – dalam pertemuan Budaya Harmoni Budaya Sunda-Jawa, awal Maret 2018 itu, dengan penuh semangat menyatakan, sebagai perwujudan damai, maka di Kota Surabaya, “disepakati” akan dilakukan penggantian dua nama jalan. Jalan Dinoyo diganti namanya menjadi Jalan Sunda dan Jalan Gunungsari menjadi Jalan Prabu Siliwangi. Penetapan Jalan Dinoyo itu, karena berdekatan dengan Jalan Mojopahit dan Jalan Pajajaran (yang sudah ada sejak lama). Sedangkan Jalan Prabu Siliwangi juga berdekatan dengan Jalan Hayamwuruk, Gajahmada dan Raden Wijaya.

Sebagai balasan, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, secara tegas pula menyatakan akan memasang nama Majapahit, Hayamwuruk dan Gajahmada di kota-kota di Jawa Barat. Tahap awal, bulan April atau Mei 2018, dilaksanakan penggantian dua nama jalan di Kota Bandung. Jalan Majapahit akan menggantikan nama Jalan Gasibu di tengah kota dan Jalan Hayamwuruk mengganti nama Jalan Kopo.

Sri Sultan Hamengku Buwono X, sebagai “lambang Raja Jawa” saat ini, yang hadir pada pertemuan di Surabaya itu menyatakan, di Jogjakarta telah ada Jalan Siliwangi dan Pajajaran, serta Majapahit dalam satu kesatuan jalur. Mulai dari ruas simpang Palemgurih Ke Jombor, diteruskan ke simpang tiga Maguwoharjo dan dilanjutkan sampai simpang Jalan Wonosari.

Niat baik dan keinginan luhur Pakde Karwo yang akan mengganti dua nama jalan di dalam Kota Surabaya itu, ternyata belum tuntas. Persoalannya, pihak Pemerintah Kota Surabaya mungkin “marasa” dilangkahi begitu saja. Sebab, untuk penggantian nama jalan atau pemberian nama pada suatu ruas jalan, harus berdasarkan Perda (Peraturan Daerah) Kota Surabaya yang merupakan persetujuan Walikota Surabaya dan DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Kota Surabaya.

Warga Surabaya yang melakukan protes penggantian nama Jalan Dinoyo, ada yang membawa kertas bertulisan Jalan Soekarwo, dipasang di bawah Jalan Dinoyo. Mereka meminta Soekarwo membatalkan rencananya mengganti nama Jalan Dinoyo menjadi Jalan Sunda dan Jalan Gunungsari menjadi Jalan Prabu Siliwangi. Walaupun jalan arteri itu merupakan “jalan Provinsi”, untuk pemberian nama atau penggantian nama jalan, merupakan kewenangan Pemerintah Kota Surabaya, ujar mereka.

Polemik dan perbedaan pendapat antarwarga, serta para pejabat maupun anggota DPRD masih berkepanjangan. Akankah penggantian dua nama jalan di Kota Surabaya itu segera terwujud? Dan bagaimana pula tanggapan warga Kota Bandung dan masyarakat suku Sunda di Jawa Barat dengan akan hadirnya nama Jalan Majapahit dan Jalan Hayamwuruk itu? Semoga, “dendam sejarah” yang bernuansa SARA ini tidak menggoyahkan semangat NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) memecah rasa kebangsaan kita. (**)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *