Oleh: Novita Tandry***
Pada abad digital, peradaban sudah sedemikian maju. Sangat jauh berbeda dengan masa-masa sekitar dekade tahun 1970-1990 an saat gadget, HP, IT belum merajalela seperti saat ini. Komunikasi langsung pada sebuah keluarga masih intens saat sore dapat berkumpul bersama sesuai melakukan aktivitas masing-masing.
Menonton acara TV sambil mengobrol bersama keluarga menceritakan aktivitas masing-masing saling memperhatikan dan sungguh begitu indah hubungan yang harmonis dalam sebuah keluarga pada masa-masa itu walaupun terkadang masih terdengar kakak adik kadang sesekali bertengkar. Namun semua dapat terselesaikan dengan baik.
Dekade tahun 2010 ke atas, dengan kemajuan IT, merajalelanya peredaran HP dengan banyak ragam merk, type, model dengan aplikasi game, FB, WA, Instagram, Twitter juga kesibukan aktivitas anggota keluarga di luar rumah semakin meningkat. Apalagi tinggal di sebuah kota besar dengan kemacetan menjadi momok utama setiap hari. Belum lagi masalah banjir di musim hujan.
Peningkatan materi yang menjadi tujuan utama setiap individu. Mulailah hubungan dalam sebuah keluarga terkoyak karena semestinya kepentingan keluarga yang menjadi prioritas utama saat ini bergeser menjadi mencari nafkah adalah nomor satu. Kekhawatiran orang tua pada masa ini adalah tidak bisa menyekolahkan anaknya sampai jenjang S1, S2 dst. Anak dan remaja kehilangan waktu bercengkerama bersama dengan keluarga kecuali hari libur atau cuti libur nasional. Anak-anak dan remaja bersekolah dari pagi-pagi sampai sore bahkan kemudian ikut bimbel malam hari sudah menjadi pemandangan yang biasa saat ini. Baik di kota kecil terlebih di kota-kota besar.
Waktu bertemu antar anggota keluarga semakin berkurang. Masing-masing sibuk dengan urusannya sendiri. Dan mulailah kurang peduli terhadap hubungan antar keluarga karena sampai rumah sudah malam tinggal istirahat tidur. Begitulah siklus kehidupan mayoritas para keluarga urban di kota besar.
Dengan jarang berkumpul kemudian timbulah perasaan asing satu sama lain walaupun masih terikat hubungan darah atau keluarga. Yang jauh menjadi dekat, sebaliknya yang dekat di depan mata menjadi jauh.
Usia anak-anak menjelang remaja menuju dewasa adalah usia pencarian jati diri. Masih labil terkadang karena kesibukan kedua orang tua para anak-anak maupun remaja diperlakukan seolah seperti sebuah robot yang hanya cukup dicukupi kebutuhan sandang pangan, biaya sekolah, dibelikan pulsa untuk berselancar di dunia maya, diberi kartu debet, disekolahkan di sekolah unggulan dari pagi sampai malam hari. Para orang tua mulai mengabaikan kebutuhan remaja untuk diajak komunikasi, interaksi dalam kegiatan sehari-hari yang ada hanyalah menuntut agar para remaja punya nilai bagus dan berprestasi. Padahal untuk itu pasti memerlukan sebuah proses dan tidak semudah membalik telapak tangan. Dalam satu rumah tinggal yang sama asal anak diam dipikir aman terkendali itu masih terlihat di depan mata kita. Padahal mungkin saja mereka asyik bermain game tanpa pengawasan atau monitor orang tua. Belum lagi saat mereka berangkat sekolah pagi-pagi sampai sore hari pulang. Apa yang terjadi pada mereka?
Kita para orang tua memasrahkan sepenuhnya anak remaja tersebut dalam pengawasan gurunya. Dan kadang kurang mendeteksi jika ada tindakan bullying atas mereka. Tahu-tahu anak remaja usia SMP -SMA yang masih labil tengah mencari jati diri tersebut mengambil jalan pintas mengakhiri hidupnya karena persoalan beratnya beban hidup dalam benak mereka yang ditanggung sendiri. Dalam pengamatan yang terjadi akhir -akhir ini mulai banyak terlihat kasus bunuh diri di kalangan remaja baik dengan meloncat dari gedung tinggi, menggantung diri dan lain-lain. Sungguh amat miris. Anak muda tampan usia 17 tahun di sebuah kompleks perumahan mengakhiri hidup di usia produktif tanpa upaya pencegahan karena tidak terdeteksi niatnya. Bahkan seolah itu menjadi sebuah kasus biasa yang tanpa terlihat di pemberitaan seolah ditutup rapat baik oleh keluarga maupun sekolah elitnya.
Senin, 27 Januari 2020, ditemukan sesosok remaja puteri depresi yang berniat mengakhiri hidupnya di daerah Cipete. Beruntung segera terselamatkan oleh warga yang melihat dan mencegah niatan tersebut dengan membawanya ke Puskesmas terdekat.
70% anak remaja yang dikirim orangtuanya untuk konseling dengan saya mengeluh ingin mengakhiri hidupnya. Kaget?
Kata mereka : Untuk apa hidup? Kalau nanti toh semua orang juga pasti mati! Mati sekarang aja. Malah keren mati muda dan gak usah cape-cape sekolah, les bimbel dan lain-lain terus dari hari Senin sampai Minggu (yess! Literally 7 hari seminggu) dimarahin terus, ditakut-takutin terus, mati aja ach!
Ternyata tidak mudah jadi Psikolog Anak & Remaja di Generasi Alpha ini selain sebagai pendengar mereka harus cerdas luar biasa karena pengetahuan mereka luas sekali tapi ironisnya ketahanan diri yang rendah dibandingkan generasi sebelumnya.
Jadi bukan melulu karena perundungan yang bahasa kerennya, bullying! Tapi karena orangtuanya tidak ‘hadir’ dalam kehidupannya, hanya bisa menuntut supaya anak mengerjakan yang mereka inginkan tapi tidak diberikan contoh dengan menggunakan akal budinya untuk berpikir!
Ajarkan anak dengan contoh apa itu Self Control, bisa membedakan yang benar dan salah (wisdom), tangguh dan punya ketahanan diri, punya mental yang kuat, bukan dilayani terus, diikuti maunya terus yang penting nilainya bagus!
*Spoiled parents* akan menjadikan spoiled children yang manipulatif, mediocre, *demanding, tantrums tanpa akhir, sulit menerima tekanan, mudah stres, mudah menyerah, suka mengeluh* dan maunya instant alias cepat jadi! Dan kalau ketemu masalah, sederhana, bunuh diri!
Wake up call yah, parents.. berkali2 saya bicara, HADIR, DENGARKAN ANAKMU dengan HATI dan jadi TELADAN! Jangan hanya bikin anak aja, didik mereka please kalau gak maka teknologi yang mendidik mereka dan menjadikan mereka srmua yang tanpa emosi, empati dan daya juang. (Editor: Lili).
***Psikolog Anak dan Remaja.