Desa Menyala Terang, Warga Kepri Senang Bukan Kepalang

  • Whatsapp

BATAM, berittalima.com | Pulau Batam atau Bintan cuma sepelemparan batu dari Singapura. Mereka bertetangga, tapi kondisinya jauh berbeda. Jangan bandingkan perbedaan yang lain-lain dulu. Kita bandingkan kondisi listriknya saja. Sekujur Singapura sudah menyala terang 24 jam, sementara listrik di pulau-pulau milik kita, sebagian hanya bisa menyala setengah hari saja. Sebagian malah gelap gulita sama sekali.

Selama ini, warga dipaksa oleh keadaan hanya bisa menikmati listrik di malam hari. Itupun dengan waktu yang terbatas, lantaran mesin pembangkit yang menjadi sumber tenaga, ukurannya sangat kecil. Itupun dengan daya yang terbatas, karena harus dibagi merata ke warga yang tinggal di situ.

Berpuluh-puluh tahun warga di sini hidup dengan rasa iri. Iri melihat wilayah lain yang sudah menikmati listrik 24 jam. Saking lamanya, boleh jadi mereka sudah lupa, iri itu seperti apa rasanya. Iri berubah rasa menjadi pasrah. Berpuluh-puluh tahun, mereka dipaksa menyerah oleh keadaan menikmati listrik serba terbatas. Atau bahkan tidak berlistrik sama sekali.

PLN punya tugas berat untuk membayarkan terang di sisa hari. Mengubur rasa iri warga akibat listrik tiada. Membangkitkan semangat warga yang sudah pasrah, sehingga warga di Kepulauan Riau bisa menikmati listrik sepanjang hari sepanjang malam.

Jangan bayangkan Kepulauan Riau itu seperti kondisinya seragam seperti halnya Kota Batam atau Tanjung Pinang. Yang infrastrukturnya relatif lengkap hanya dua kota itu. Bahkan di Pulau Batam sendiri, belum semua titik yang dihuni warga republik sudah teraliri listrik. Itu karena medannya memang sangat sulit. Misalnya saja di Desa Subang Mas. Desa ini salah satu bagian dari wilayah administrasi pemerintahan Kota Batam. Jangan bandingkan dengan desa di tengah kotanya. Bumi langit. Belum lagi pulau-pulau lain seperti Pulau Mapur, salah satu pulau terluar di dalam gugusan Kepulauan Riau.

Provinsi ini punya 275 desa dan 141 kelurahan. Ada 27 desa atau kelurahan yang belum teraliri listrik. Sudah pasti lokasinya paling terpencil. Medannya juga paling sulit. Ada yang di tengah pedalaman pulau, sebagian lagi desa-desa di pulau kecil yang tak punya dermaga memadai.

Membawa peralatan kelistrikan yang beratnya minta ampun, adalah tantangan tersendiri. Belum lagi mengangkut tiang-tiang yang bentuknya bulat panjang. Alat-alat mekanik serba terbatas. Satu-satunya cara, ya memanfaatkan kondisi alam setempat. Tiang-tiang itu “dihanyutkan” dari tepian pantai, lalu dipanggul secara manual. Mesin-mesin pembangkit pun demikian. Tak mungkin menghadirkan katrol atau krane pengangkut mesin. Jadi ya mesti manual. Apa jalan keluarnya?

Gotong-royong. Itulah kata-kata sakti yang ternyata masih hidup di bumi pertiwi. Setidaknya di kalangan warga Kepri. Warga setempat, bahu-membahu bersama pegawai PLN di lapangan untuk mengangkat mesin yang luar biasa berat. Juga memanggul tiang-tiang yang jumlahnya ratusan.

Berkat kerja keras, yang gelap jadi terang. Berkat gotong royong, mereka bekerja dengan senang. Sebanyak 27 desa Kepulauan Riau, kini sudah bisa menikmati listrik 24 jam penuh. Program Desa Berlistrik di seluruh Kepulauan Riau yang dijalankan PLN, akhirnya selesai. Semua berkat kata-kata sakti yang disebut gotong-royong tadi.

Tanpa dukungan warga, entah berapa lama program itu bisa diselesaikan. Tapi tanpa tekad para pegawai PLN di lapangan, juga mustahil desa-desa di sana sudah bisa menyala terang. Tanpa dukungan PLN di wilayah hingga pusat, entah berapa purnama lagi desa-desa itu bisa menikmati listrik.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *