SURABAYA, Beritalima.com-
Maraknya pemberitaan Pilkada dan Pilgub menyambut pesta demokrasi yang akan digelar pada 27 November 2024 mendatang, penuh pernak pernik dinamika politik yang kian memanas.
Namun banyak pihak merasakan Kekhawatiran akan munculnya bumbung kosong dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jatim 2024. Karena hingga saat ini pesaing petahana Khofifah Indar Parawansa-Emil Elistianto Dardak, masih menjadi teka-teki.
Sama halnya yang terjadi di DKI Jakarta, munculnya Ridwan Kamil sebagai Kandidat dari KIM, menimbulkan kekhawatiran masyarakat Jakarta, karena kemunculan KIM seperti sudah menenggelamkan nama Anies Rasyid Baswedan yang memiliki elektabilitas tertinggi, namun para Parpol pengusung mulai meninggalkan Anies.
Hal inilah yang dikhawatirkan akan mengancam proses demokrasi yang berkualitas.
Padahal, demokrasi yang berkualitas dibutuhkan untuk melahirkan pemimpin yang berkualitas yang dihasilkan dari kompetisi yang sehat.
Jika bumbung kosong muncul untuk berkompetisi dengan calon tunggal yang umumnya petahana, maka proses demokrasi yang adil dan berimbang dikhawatirkan akan terganggu. Sebaliknya, proses Pilkada yang berlangsung seakan hanya stempel politik untuk melanggengkan kekuasaan.
Di sinilah pers punya peran penting dalam Pilkada untuk melahirkan pemimpin yang berkualitas. Dimana pers dituntut menyajikan pemberitaan yang berimbang sebagai pertimbangan pemilih dalam memasuki proses pilkada.
Demikian penjelasan yang disampaikan oleh Komisioner Dewan Pers, Yadi Hendriana, dalam Workshop Peliputan Pemilu dan Pilkada 2024 di Provinsi Jawa Timur yang digelar di Four Points Hotel Surabaya, Jumat (9/8/2024).
“Namun kenyataannya, 80 persen calon kepala daerah (cakada) di daerah, mereka lah yang mengendalikan media di daerahnya masing-masing,” ungkap Yadi Hendriana yang juga ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers.
Pengendalian itu tak hanya tampak dalam kepemilikan media. Namun juga dalam pengaturan kue iklan di daerah. Dimana pers di daerah masih sangat mengandalkan iklan dari plat merah.
Menurut Yadi, Pers tidak boleh ikut bertarung dalam rangkaian pelaksanaan pemilu. Pers juga harus tidak memihak pada kepentingan politik tertentu. Undang-Undang Pers mengamanatkan agar Pers netral dan bertanggung jawab.
Karena itu menjadi tantangan Pers dalam peliputan Pilkada kali ini untuk tidak hanya menyajikan berita yang berimbang. Namun, juga mempunyai bargaining position dengan pemilik media atau penguasa daerah untuk menjadi pers yang netral dan bertanggung jawab.
Yadi pun mengungkap bahwa Jatim adalah provinsi terbesar kedua dari jumlah pemilih setelah Jawa Barat. Jatim juga punya partai politik yang paling heterogen dibanding provinsi lain.
Karena itu Pers di Jatim dituntut untuk mampu berada di tengah dalam membimbing dan meliterasi masyarakat untuk mewujudkan demokrasi yang berkualitas.
Dimana demokrasi yang berkualitas ditunjukkan dengan tiga gejala. Yaitu adanya kompetisi, partisipasi dan ekspresi.
“Artinya, Pilkada yang sehat adalah Pilkada yang menunjukkan sebuah kompetisi, partisipasi aktif masyarakat dan kebebasan pemilih untuk berekspresi,” katanya.
Sementara itu Komisioner Dewan Pers, Totok Suryanto, dalam paparannya menyampaikan bahwa Pers adalah jembatan antara proses politik dengan masyarakat luas. Dimana media bukan sekadar pelapor, tapi juga pendidik.
“Di tengah derasnya arus informasi, Pers harus mampu memberikan panduan yang jelas dan objektif kepada masyarakat dalam memahami isu-isu Pilkada,” terang Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga dan Luar Negeri Dewan Pers ini.
Tantangan ini semakin kompleks, dengan adanya fenomena disinformasi dan berita palsu (fake news) serta hoaks yang kerap muncul menjelang Pemilu. Utamanya di masa kampanye dimana pengaduan ke Dewan Pers biasanya meningkat.
Untuk itu, Pers diharapkan dapat menjadi garda terdepan dalam melawan penyebaran informasi yang menyesatkan dengan memperkuat etika jurnalistik dan komitmen terhadap kebenaran.
Dimana salah satu kunci sukses penyelenggaraan pilkada adalah terciptanya ruang publik yang kondusif, sehat, dan bersih dari berita palsu dan hoaks.
Di kesempatan yang sama, praktisi Pers Dwi Eko Lokononto menyoroti bahwa Pilkada serentak pada 27 November nanti akan digelar di 37 provinsi, 416 kabupaten, dan 98 kota.
Hal ini tentu menjadi tantangan besar bagi lembaga survei, terutama lembaga survei papan atas yang kesulitan melayani seluruh daerah tersebut.
“Maka banyak lembaga survei baru yang muncul, yang beberapa di antaranya bahkan dibayar oleh kandidat dan menjadi bagian dari tim sukses. Hal ini dapat menyebabkan bias dalam hasil survei. Oleh karena itu, penting bagi media untuk tidak menjadi ‘keranjang sampah’ bagi informasi yang tidak akurat. Media harus memahami metodologi survei agar dapat menyajikan data yang benar-benar relevan dan objektif,” pungkas Luki.(Yul)