Oleh : H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim PTA Jayapura)
Semula ceramah ustaz itu terasa datar-datar saja. Prolog ceramah yang bernuansa humor, tentang seputar menjawab salam itu, tidak mengesankan sedikit pun ceramah itu neko-neko. Apalagi, ketika mengingatkan tentang surga neraka dengan alat peraga via proyektor, tampak sangat menarik dan sempat membius jamaah yang hadir. Ketika suara lengkingan jerit rintih, bagaimana para pendosa dimasukkan neraka, hampir semua hadirin, kecuali anak-anak, menyimak dengan khidmat. Hampir tidak secuil pun suara terdengar kecuali suara video tentang ilustrasi ihwal siksa mengerikan di akhirat. Emosi masa, seolah terbawa ke dalam suasana alam metafisik kehidupan akhirat tersebut dengan penuh apresiatif.
Ritme ceramah mulai sedikit menghangat ketika sang ustaz itu mulai menyinggung beberapa tema aktual, seperti penangkapan ulama, penembakan (anggota FPI) di kilometar lima puluh, hutang negara kepada Cina yang berujung stigma terhadap pemerintah (rezim) saat ini yang menurutnya dhalim. Salah satu tema aktual yang juga ikut menjadi bahasan ceramah dengan tema “Fitnah di Akhir Zaman” itu ialah tentang isu Palestina. Pembantaian zionis Yahudi terhadap masyarakat Palestina ditampilkan via alat peraga dengan jelas dan vulgar. Ratusan anak tidak berdosa harus kehilangan nyawa setelah sebelumnya rumah-rumah mereka dibombardir jet-jet tempur Israel. Yang masih hidup harus menjadi yatim, ibunya harus menjadi janda karena ditinggal mati suami sebagai syuhada. Bulan Ramadhan yang baru lalu pun harus dilalui oleh kaum muslimin Palestina di bawah kekejaman nyata sang zionis. Tampaknya, dengan video dan narasi itu sang ustaz hendak mengajak jamaah agar peduli akan nasib kaum muslimin Palestina.
Paparan mengenai isu Palestina dan Israel sudah sering kita dengar. Dan, telah secara nyata berhasil menyedot simpati luar biasa, khususnya kaum muslimin di berbagai daerah. Suasana haru, marah, dan sesekali pekikan takbir selalu mewarnai kegiatan pengajian. Akan tetapi, paparan tentang konflik Palestina yang dikemukakan ustaz dan para ustaz pada umumnya, tampaknya didasarkan atas informasi sepihak bahkan terkesan tidak adil. Para pendakwah tertentu sering dengan penuh percaya diri mengatakan, bahwa konflik Palestina dengan Israel merupakan tragedi kemanusiaan. Bahkan, narasinya juga sering secara khusus di bawa ke ranah konflik agama, dalam hal ini antara Islam dengan Yahudi. Narasi demikian sering pula dijustifkasi oleh Al Qur’an, antara lain, Surat Al Baqarah ayat 120 ( Walan tardho ankal yahudu…..) dan sejumlah sitigma jahat lain terhadap Yahudi dalam Al Qur’an.
Padahal, dari berbagai sumber dapat diketahui bahwa konflik yang terjadi di Palestina sangat kompleks. Konflik tersebut tidak bisa serta merta disebut konflik agama, antara Yahudi versus Islam. Sebab, secara faktual ternyata juga banyak penganut Yahudi di Israel yang tidak setuju bahkan menentang invasi pemerintahnya terhadap bangsa Palestina. Setidaknya mengenai kondisi Yahudi di Israel ini pernah diemukakan oleh Ustaz Arrazy dalam salah satu canal You-Toubenya. Menurut ustaz alumnus Timur Tengah (Al Azhar) ini, Yahudi (di Israel ) ada tiga macam: Pertama, adalah Yahudi ortodoks. Mereka menolak perlakuan Israel terhadap Palestina. Mereka melakukan demonstrasi terus-menerus dan meminta Israel untuk menghentikan serangan. Kedua, Yahudi nasionalis, mereka juga tidak setuju penggunaan kekerasan terhadap warga Palestina. Mereka juga mencari titik-temu antara Israel dan Palestina. Ketiga, Yahudi Zionis, yaitu kelompok garis keras yang secara politik mempengaruhi penguasa (rezim) melakukan kekerasan terhadap warga Palestina. Kelompok Yahudi ini pula, yang salah satu ‘jama’ah’nya, seorang ultranasionalis bernama Yigal Amir membunuh Perdana Menteri Yitzak Rabin pada pada tanggal 4 November 1995, Perdana Menteri Israel yang pernah berkunjung ke Indonesia pada zaman Orde Baru. Perdana Menteri kelahiran 1 Maret 1922 ini ditembak karena dianggap terlalu kompromis terhadap Palestina, khsusnya ketika perdana menteri mantan tentara ini melakukan perjanjian perdamaian dengan Yasser Arabat ( Perjanjian Oslo, Norwegia 1993) di depan Presiden AS Bill Clinton.
Dengan demikian, terlepas dari faktor kuantitas masing-masing kelompok, kelompok yang menentang konflik di internal Israel sebenarnya juga banyak atau setidaknya menurut pendapat tersebut perbandingannya: 2 (kelompok pro perdamaian) : 1 (garis keras). Realita demikian, sekaligus menunjukkan bahwa konflik di Palestina dengan basis teori konflik agama merupakan pendapat yang keliru. Atau, setidaknya tidak sepenuhya benar.
Analisis di atas juga dikuatan oleh fakta sikap Yahudi di berbagai dunia. Setidaknya Emha Ainun Najib, pernah membuat pernyataan mengenai Yahudi ini. Menurutnya, kita jangan membuat generalisasi mengenai pandangan Yahudi terhadap Islam seperti Israel dengan Palestina. Pendapat tersebut sering disampaikan di forum pengajian Kiai Kanjeng. Sebagai contoh, di Eropa orang Yahudi sering meminjamkan Sinagognya untuk dipakai salat kaum muslimin. Pascatragedi 9 September 2001 yang meluluhlantakkan dua gedung kembar (WTC) di New York–saat kaum mulimin mendapat serangan fisik maupun pskikhis (di buly) oleh sebagian rakyat Amerika–orang-orang Yahudilah yang menjaga kaum muslimin ketika melakukan salat Jumat. Bahkan, dalam sebuah kesempatan lain, Cak Nun juga mengkritik wacana tentang konflik Palestina Israel selama ini. Menurutnya, semua yang dilakukan dalam menyikapi konflik Palestina-Israel seperti sekarang, tidak akan menjawab persoalan sebab seluruh perdebatanya sudah salah dari awal. Kesalahannya itu, antara lain salah dalam menyebut “x-y”nya.
Pendapat tersebut setidaknya juga memberikan gambaran lain, bahwa opini yang dibangun selama ini mengenai siapa yang berkonflik dan jenis konfliknya bukanlah pendapat tunggal. Ada versi pendapat lain yang ternyata lebih rasional. Jika dibandingkan dengn pendapat selama ini yang berkembang. Bahkan, dalam tataran tertentu cenderung menyesatkan. Karena kesesatan opini dan telah menguasai jalan pikiran (mindset) umat itulah, maka ketika ada tokoh tertentu yang mencoba mencari solusi yang bertentangan dengan jalan pikiran tersebut, pasti dimusuhi dan dibuly habis-habisan. Kita masih ingat ketika Gus Dur pergi ke Israel 1994, yang diundang oleh Shimon Peres ke Yerusalem untuk menyaksikan perjanjian damai antara Israel dan Yordania. Tindakannya dihujat habis-habisan oleh kelompok Islam tertentu. Bahkan, mungkin oleh sebagian kecil orang dalam (NU) yang belum tahu. Ketika menjadi presidan, Gus Dur juga pernah ingin membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Sikapnya ini tentu bukan ingin mengabaikan perasaan Palestina. Gus Dur bukan tidak tahu bagaimana penderitaan rakyat Palestina. Ia paham benar konflik yang terjadi di sana. Justru karena itu, perlu membuat langkah ‘kemesraan’ dengan Israel, sebelum akhirnya kedamaian dan kemerdekaan Palestina bisa diwujudkan. Argumentasi gagasan Gus Dur sederhana, bagaimana mungkin Indonesia bisa berperan dalam perdamaian Palestina dan Israel jika tidak menjalin hubungan diplomatik dengan keduanya sekaligus. Logika sederhananya, jika ingin menjadi penengah harus bisa berdiri dengan jarak yang sama antara kedua kelompok yang berselisih. Terakhir, Gus Yahya pun tidak luput dari cercaan yang sama oleh kelompok Islam tertentu ketika, mantan juru bicara Gus Dur saat masih presiden itu, berkunjung ke Israel.
Akan tetapi, memang harus diakui, bahwa opini ‘menyesatkan’ tentang isu konflik Palestina-Israel, telah terlanjur menjadi ‘komoditi’ luar biasa. Keberhasilan menggunakan emosi masa dengan modal pemberitaan kekejian zionis Israel (Yahudi) atas Palestina (Islam) telah menghasilkan simapati lahir (berupa dana) dan batin (berupa senitimen akidah) yang luar biasa. Pemanfaatan emosi umat ini juga tidak jarang dimanfaatkan oleh sebagian kelompak sebagian kaum muslimin tertentu untuk menyikapi berbegai konflik internasioal di negeri tertentu antara umat Islam setempat dengan regim penguasanya, seperti kasus Oighur di Cina. Untung saja sejumlah kesaksian telah mematahkan upaya tersebut. Banyak anak-anak Indonesia yang belajar di Cina dan tahu langsung kondisi Oighur membantahnya. Dalam pandangan mereka, sikap ‘represif’ pemerintah komunis Cina terhadap Islam hanyalah seperti tindakan pemerintah menagkap Bahar Smit atau membubarkan FPI. Kesaksian yang mereka sampaikan, bahwa di Cina berbuat apa pun bebas (mau beragama apa pun atau bahkan tidak beragama apa pun) asal tidak melawan pemerintah.
Dengan ilustrasi di atas, tampaknya masyarakat (Islam) perlu cerdas terhadap propaganda apa pun. Apalagi, menyangkut isu tertentu dengan narasi yang bernuansa agama. Kesaktian pemanfaatan isu dengan narasi agama atau keyakinan, telah banyak menelan korban, korban harta dan bahkan nyawa yang tidak sedikit. Hal demikian sekaligus, sebagai antisipasi menghadapi tahun politik, dalam hal ini pileg dan pilpres 2024, yang aroma gaungnya tampaknya sudah mulai terasa di mimbar-mimbar khutbah dan pengajian-pengajian. Wallahu A’lam.
BIO DATA PENULIS
Nama : Drs.H. ASMU’I SYARKOWI, M.H.
Tempat & Tgl Lahir : Banyuwangi, 15 Oktober 1962
NIP : 19621015 199103 1 001
Pangkat, gol./ruang : Pembina Utama, IV/e
Pendidikan : S-1 Fak. Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga 1988
S-2 Ilmu Hukum Fak Hukum UMI Makassar 2001
Pondok Pesantren Misbahul Ulum Patokan Situbondo (KH Saifullah Saleh), 1979-1982.
Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta (K.H. Abdul Hadi), 1982-1990)
Hobby : Pemerhati masalah-masalah hukum, pendidikan, dan seni;
Pengalaman Tugas : – Hakim Pengadilan Agama Atambua 1997-2001
-Wakil Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2001-2004
– Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2004-2007
– Hakim Pengadilan Agama Jember Klas I A 2008-2011
– Hakim Pengadilan Agama Banyuwangi Klas IA 2011-2016
– Hakim Pengadilan Agama Lumajang Klas IA 2016-2021
– Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I-A 2021-2022.
Sekarang : Hakim Tinggi PTA Jayapura, 9 Desember 2022- sekarang
Alamat : Pandan, Kembiritan, Genteng, Banyuwangi
Pemegang Kartu Anggota NU (KartaNU) Nomor 35.332118.00285.1508.
Alamat e-Mail : asmui.15@gmail.com