Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)
Drama perkara Ferdy Sambo (FS) berakhir sudah. Setelah bersidang dalam kurun waktu 4 bulan yaitu sejak 17 Oktober 2022 tahun lalu di PN Jakarta Selatan pada tanggal 13 Februari 2023 tibalah giliran Majelis Hakim menjatuhkan putusan. Sidang yang berlangsung secara maraton itu telah mamsuki babak akhir dengan pembacaan putusan. Sebagaimana kita saksikan melalui media, mantan Kadiv Propam Polri Sambo itu telah divonis dengan pidana mati karena dinilai terbukti melakukan pembunuhan berencana dan tanpa hak melakukan perbuatan yang menyebabkan sistem elektronik tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Sambo dinilai terbukti melanggar Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dan Pasal 49 jo Pasal 33 UU ITE jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Vonis itu seolah menjawab teka-teki masyarakat tentang berapa hukuman yang setimpal setelah jaksa menuntutnya hanya dengan hukuman seumur hidup atas jenderal bintang dua ini. Bagi yang semula ‘gemes’ dengan FS yang dilansir Presiden Jokowi menjadi biang penyebab indeks kepercayaan masyarakat terhadap POLRI ‘terjun bebas’ itu tuntutan seumur hidup dianggap kurang setimpal. Dan, yang pasti seberapun hukuman yang dijatuhkan kepadanya tidak akan bisa mengembalikan almarhum Brigadir J ke pangkuan ayah bundanya.
Terlepas setuju atau tidak vonis yang dijatuhkan Majelis Hakim, kasus pembunuhan berencana yang terjadi 8 Juli 2022, memang telah menyita perhatian publik termasuk para akademisi hukum dari berbagai perguruan tinggi. Menurut mereka terdapat aroma potensi ketidakadilan atas ‘orang penting’ yang terlibat dalam kasus ini. Orang dimaksud ialah sosok Richard Eilezer Pudihang Lumiu atau dalam kasus ini lebih dikenal dengan “Barada E”. Tamtama Brimob kelahiran Manado 14 Mei 1998 ini sebelumnya telah menjadi kunci terbongkarnya pembunuhan sebelumnya telah ditetapkan sebagai “justice collaborator (JC)”. Aroma ini bermula dari tuntutan hukuman Jaksa terhadap para terdakwa yang dirasakan masyarakat sangat tidak adil. Sebagaimana diketahui dalam kasus ini jaksa justru menuntut hukuman untuknya dengan 12 tahun penjara sementara ‘rekan-tekan’ pelaku yang lain dituntut lebih rendah. Padahal, sebelumnya sebelumnya polisi imut ini telah dianggap ‘berjasa’ menemukan aktor utama pembunuhan yang sebelumnya gelap gulita dan nyaris tidak mungkin diketahui tanpa pengakuannya. Karena itu pula dia pun lalu ditetapkan sebagai JC. Itulah sebabnya segera setelah itu sejumlah reaksi pun muncul dari berbagai kalangan, termasuk para akademisi hukum.
Sebagaimana ditulis oleh TEMPO.CO (9 Februari 2023) sebanyak 122 akademisi yang terdiri dari guru besar dan dosen dari berbagai universitas menyatakan diri sebagai sahabat pengadilan atau “amicus curiae” bagi terdakwa Bharada E. Mereka yang tergabung dalam Aliansi Akademisi Indonesia tersebut menyampaikan dukungan itu ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pada Senin, 6 Februari 2023. Mereka mendukung Bharada E dengan pertimbangan bahwa dia merupakan seorang JC. Bharada E mendapatkan status JC dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) lantaran telah membongkar skenario pembunuhan yang dibuat oleh mantan bos besarnya, untuk menutupi peristiwa pembunuhan terhadap Brigadir J. Kemudian memang sebagaimana kita saksikan, hukuman yang dijatuhkan kepada Barada E, dan bahkan vonis kepada para terdakwa lainnya, tidak sesuai dengan tuntutan jaksa. Khusus untuk Barada ‘hukuman ringan’ itu pun tampaknya sesuai dengan ekspektasi masyarakat luas. Sehingga, ada yang beranggapan, bahwa vonis itu berkat ‘kepedulian hukum’ amicus curiae sebelumnya.
Meskipun konsep amicus curiae secara langsung belum ada ketentuannya akan tetapi secara umum prinsipnya dapat diterima berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, tentang kewajiban hakim untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dari ketentuan pasal tersebut pada pokoknya dimungkinkannya pengadilan dalam hal ini hakim menerima ‘masukan’ masyarakat atas perkara yang sedang diperiksa sejauh masih dalam konteks implementasi ketentuan Pasal 5 tersebut. Dengan demikian objek sebagai sumber pelaksanaan Pasal 5 tersebut memang bisa 2 macam, yaitu objek yang pasif dan objek yang aktif. Objek yang pasif ini harus dicari sendiri oleh hakim dari ‘sumber-sumber tertentu’. Sedangkan objek yang aktif tidak lain pendapat amicus curiai yang secara pro aktif mendatangi pengadilan. Meskipun demikian bagaimana akhirnya, sesuai independensi yang dimiliki, hakim bebas untuk menerima atau menolaknya. Ketika pendapat itu diberikan oleh ahli dalam jumlah yang banyak tentu akan membantu memudahkan hakim melihat cakrawala rasa keadilan yang diperlukan. Dengan mekanisme demikian maka sangat dimungkinkan putusan yang dijatuhkan Hakim akan lebih mendekati rasa keadilan dan yang pasti memungkinkan mendapat dukungan luas. Dalam praktik pengadilan hal ini pernah terjadi pada tahun 2009 Pengadilan Negeri Tangerang menjatuhkan putusan Nomor 1269/PID.B/2009/PN.TNG. Putusan tersebut tidak lain putusan mengenai kasus Prita Mulyasari Vs Negara Republik Indonesia. Sebanyak 5 LSM mengajukan Amicus Curiae guna membela hak terdakwa. Mahkamah Agung pun mendapat apresiasi masyarakat luas, setelah Majelis Peninjauan Kembali pada tanggal 12 September 2012 mengabulkan permohonan ibu muda itu dan menganulir putusan PN Tangerang dan putusan Kasasi yang tetap menghukumnya 6 bulan penjara dengan masa percobaan 1 tahun.
Akan tetapi, di balik kesaktian amicus curiae ini mungkin ada sebuah pertanyaan menyelinap di benak kita, apakah praktik demikian nanti tidak disalahgunakan. Sebagai contoh seseorang dijatuhi hukuman mati. Orang ini orang yang terpandang dan mempunyai pengaruh sangat luas. Dia pun seorang yang kaya raya. Dengan posisinya yang demikian tentu dia bisa berbuat apa saja. Apapun akan dipertaruhkan demi keselamatan nyawanya. Di luar negeri cerita tentang kesaktian pengaruh dan harta ini pernah dibuktikan oleh OJ Simpson pada tahun 1995. Kita khawatir jika Amicus Curiae yang semula menjadi sahabat pengadilan ini justru menjelma sebagai “Brutus” pengadilan yang dapat menciptakan peradilan sesat. Bukankah kisah tentang peradilan sesat ( seperti kasus Sengkon dan Karta, 1974) juga pernah terjadi di Indonesia?
Kekhawatiran mengenai hal itu memang sah-sah saja, tetapi di era keterbukaan ini kekhawatiran itu tampaknya perlu dikubur dalam-dalam mengingat saat ini siapa pun tidak dalat bersembunyi dari media. Konspirasi hukum dari para ahli hukum yang mengarah ke perbuatan culas, sekalipun mungkin dapat mempengaruhi jalannya peradilan, dari sudut ruang lain pasti muncul sejumlah reaksi. Dan, yakinlah bahwa secara alami tidak mungkin terjadi, seluruh manusia di planet ini akan bersepakat dalam kebohongan. “Latajtami’u ummati ala khata’in, begitu rasulullah SAW memberikan garansi.
BIO DATA PENULIS
Nama : Drs.H. ASMU’I SYARKOWI, M.H.
Tempat & Tgl Lahir : Banyuwangi, 15 Oktober 1962
NIP : 19621015 199103 1 001
Pangkat, gol./ruang : Pembina Utama Madya, IV/d
Pendidikan : S-1 Fak. Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga 1988
S-2 Ilmu Hukum Fak Hukum UMI Makassar 2001
Hobby : Pemerhati masalah-masalah hukum, pendidikan, dan seni;
Pengalaman Tugas : – Hakim Pengadilan Agama Atambua 1997-2001
-Wakil Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2001-2004
– Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2004-2007
– Hakim Pengadilan Agama Jember Klas I A 2008-2011
– Hakim Pengadilan Agama Banyuwangi Klas IA 2011-2016
– Hakim Pengadilan Agama Lumajang Klas IA 2016-2021
– Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I-A 2021-2022.
Sekarang : Hakim Tinggi PTA Jayapura, 9 Desember 2022- sekarang
Alamat : Pandan, Kembiritan, Genteng, Banyuwangi
Alamat e-Mail : asmui.15@gmail.com