Di Balik Tausiah (PILU) Sang Pengamen Tua

  • Whatsapp

Oleh: Drs.H. Asmu’i Syarkowi, M.H.

(Hakim PA Semarang Kelas IA)
Yang sering berkendara umum pasti menemui pengamen. Ada yang benar menyanyikan sebuah lagu atau sekedar lagu-laguan. Bahkan, ada yang berpura-pura bisu. Pokoknya, berbagai tingkah unik sering digunakan para pengamen untuk menarik ‘penonton’. Ruang bus nan pengap karena muatan yang sering melebihi kapasitas pun sering tidak dihiraukan. Mereka pun terus berebut rongga ruangan demi memburu uang receh dari penumpang.

Pengamen kali ini tampaknya sangat lain dari yang lain. Hanya bermodal perkusi made in sendiri, Dia mencoba beradu nasib di bus ber-AC dengan sedikit penumpang. Lagu yang dinyanyikan memang sebuah lagu klasik dari penyanyi terkenal. Tapi apalah artinya lagu indah itu bagi pengamen tua yang kurang bisa membedakan tangga nada solmisasi. Kita juga tidak bisa berharap artikulasi yang jelas dari kakek tua akibat gigi yang tinggal beberapa buah. Dia tampaknya menyanyi dengan tulus. Suara parau nan fals seolah tenggelam oleh penampilan ekspresifnya namun tetap lugas. Tetapi bukan itu yang menarik, tidak hanya saya, tetapi mungkin juga seluruh pendengar.

Tidak seperti pengamen pada umumnya. Setelah uang receh diterima, dia lalu berdiri di sudut bus sambil mengucapkan sesuatu. Semula kalimat-kalimat yang diucapkan dengan artikulasi yang kurang jelas itu, memang kurang menarik perhatian saya. Perhatian saya pun tiba-tiba tertarik ketika terdengar kalimat “…….ini kisah Nadia yang ditinggal bergendak ria oleh ayahnya hingga ibunya menuntut cerai. Setelah bercerai ibunya menikah lagi dengan laki-laki lain. Tetapi setelah menikah kasih sayang kepada putrid semata wayangngnya rupanya berkurang. Akibatnya, sayalah yang harus merawat dengan penuh kasih sayang,” begitu pengeman tua itu bercerita. Diapun sampai kepada kalimat akhir: “Saya berpesan siapa yang punya anak kecil jangankah dibuang, tetapi rawatlah, berilah makan agar dia kelak menjadi orang berguna”.

Kalimat-kalimat yang diucapkan sang pengamen tua itu boleh kita anggap biasa-biasa saja. Tetapi kalimat itu sejatinya kalimat-kalimat penting yang metinya menjadi bahan renungan siapa saja. Kalimat-kalimat itu bisa saja kita anggap hanya trik seorang pengamen. Tetapi terlepas apapun motivasi pengucapannya tetap saja menarik perharian saya. Apalagi. kalimat itu diucapkan setelah dia menerima jasa ngamen, bukan sebelum aksi mengamen seperti pada umumnya pengamen lain. Bagi orang yang sering bergulat di dunia peradilan keluarga, kalimat-kalimat yang ditausiahkan oleh pengamen tua itu sangat menarik karena beberapa alasan.

Pertama, inti pesan yang diasampaikan sejatinya sebuah potret kehidupan manusia pada umumnya. Kisah sebuah pasangan muda yang ketika bekerkeluarga tidak didasari oleh sebuah pondasi yang kuat selain hanya upaya meyalurkan hasrat biologis (seksual). Setiap pasangan muda yang menikah sering belum berfikir, bahwa perkawinan merupakan sesuatu yang sakral. Perkawinan tidak hanya sekedar hanya penyaluran biologis secara halal tetapi merupakan upaya membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Seorang suami atau sitri yang sudah menikah harus melihat pasangannya sebagai objek mencurahkan kasih sayang. Oleh karena itu, wajib hukumnya seorang yang telah menikah menutup mata rapat-rapat kepada lain jenis selain istri atau suaminya yang dapat berakibat menduakan kasih sayang. Dengan maksud demikian, maka persiapan sebelum menikah dalam menentukan pilihan calon, harus dilakukan secermat mungkin. Dalam fase ini, justru dianjurkan membuka mata selebar-lebarnya.

Kedua, problem akibat sebuah perceraian bisa berdampak luas. Sebuah perceraian bisa berdampak kepada salah satu pihak, mantan istri atau mantan suami. Bahkan, bisa kedua-duanya sekaligus. Seorang yang bercerai sering beranggapan masalahnya telah selesai dengan menempuh perceraian. Padahal, perceraian yang dilakukan justru menjadi awal problem-pronlem besar berikutnya. Beberapa orang memang dapat survive setelah kemelut ruah tangganya berakhir dengan berceraian. Apalagi, setelah bercarai dan kebetulan belum mempunyai anak, lalu mendapatkan pasangan yang sesuai dengan impian hidupnya.

Akan tetapi, betapa banyak yang setelah bercerai lalu terjebak kepada dunia peruntungan (gambling). Dia lalu menikah dan pernikahan itu juga didasarai atas perimbangan yang sumair. Sebagai contoh, Dia menikah hanya sekedar malu karena sudah lama menyandang status janda atau duda. Dia menikah hanya lebih kerana pertimbangan sosial dari pada personal. Akibatnya, pernikahannya pun sering tidak dilakukan dengan penuh kesadaran dan ketulusan. Pada saat yang sama latar belakang kenapa dulu bercerai, juga sering menjadi bayang-bayang traumatik oleh pasangan barunya. Semisal dulu pernah bercerai karena selingkuh. Ketika suatu problem itu harus mengingatkan peristiwa lama, biasanya pasangan barunya akan lebih mudah mengingat masa kelam itu. Saling tidak percaya pun memicu perselisihan dan pertengkaran. Ujung-unungnya juga bisa ditebak. Ketika masing-masing tidak bisa menerima apa adanya, perceraian berikutnya pun biasanya akan terjadi. Dan, begitu seterusnya. Itulah sebabnya, mangapa seorang yang bercerai biasanya akan masuk dalam perangkap perceraian-perceraian berikutnya.

Ketiga, problem ikutan yang sering terjadi akibat perceraian yang paling nyata adalah anak. Seorang yang bercerai bisa saja beranggapan, bahwa problem rumah tangganya akan beraklhir dengan perceraian. Dalam suasanya kehidupan rumah tangga yang penuh perselisihan dan pertengkaran memang tidak kondusif bagi tumbuh kembang mental anak. Tetapi perceraian yang dilakukan ayah ibunya juga bukan satu-satunya jalan mujarab menghilangkan problem anak-anak. Seorang anak barangkali sangat beruntung ketika orang tuanya bercerai mendapatkan ayah tiri yang sangat penuh pengertian. Bermula dari penerimaan yang tulus kepada ibunya sang ayah tiri mau dengan tulus menerima kehadirannya yang bukan darah dagingnya.

Tetapi, tidak jarang seorang anak yang ditinggal bercerai oleh kedua orang tuanya harus menghadapi masa depan yang tidak pasti. Masih beruntung jika anak tersebut masih mempunyai seorang nenek atau kekek yang secara ekonomi bisa menggantikan posisi kedua orang tauanya. Bagi yang ditinggal bercarai sudah tidak tidak mempunyai kakek atau nenek atau masih punya nenek atau kekak tetapi dalam keadaan sudah tidak berdaya, tentu merupakan persoalan tersendiri. Bagi anak-anak yang hidup di perkotaan (urban) sering harus berhadapan dengan kehidupan keras. Ancaman kekerasan sosial yang sering terjadi pada masyarakat urban pada umumnya biasanya sering mengintai nanak setiap saat, seperti kekerasan seksual, pedofilia, atau kekerasan sosial lainnya. Keceriaan dan kasih sayang masa anak-anak yang tidak dapat menjadi pengalaman traumatik dapat berpotensi kepada mentalitas buruk kelak setalah dewasa.

Menurut Elizabeth Santosa, M.Psi, Psi, SFP, ACC (Psikolog) saat berbicara dalam acara Nestle Lactogrow Grow Happy di kawasan Dharmawangsa, Jakarta Selatan, (Suara.com.5/12/2018), bahwa anak yang bahagia sejak kecil, memiliki peluang lebih besar untuk menjadi individu yang memiliki emosi positif dan memiliki kepuasan hidup yang lebih tinggi di masa dewasa. Dia juga menambahkan, bahwa ada empat hal penting yang harus orang tua penuhi untuk mencapai itu. Pertama, perhatikan jam tidur anak. Kedua, berikan cinta tanpa syarat. Ketiga, dukung kompetensi anak dan keempat, pastikan anak makan tepat waktu dan berikan mereka makanan yang bergizi.
Lantas bagaimana jika prasyarat sebagaimana di atas terjadi sebaliknya? Resiko dampak psikologis anak yang mengalami kekerasan, sebagaimana ditulis oleh Devita Retno (dosenpsikologi.com) biasanya lebih besar pada anak-anak yang kurang mendapatkan pengawasan dan bimbingan dari orang tua. Macam-macam kekerasan pada anak bisa saja terjadi ketika pengawasan orang tua longgar atau justru berasal dari orang tua. Berdasarkan berbagai penelitian, ekspos anak terhadap kekerasan yang berulang disaksikan dapat memberikan dampak kekerasan pada anak yang mengganggu perkembangan otaknya. Struktur otak yang spesifik seperti amygdala, hippocampus, dan korteks prefrontal akan langsung dipengaruhi oleh stress. Sedangkan fungsi eksekutif seperti perencanaan, ingatan, pemusatan perhatian, kontrol impuls dan memproses informasi untuk membuat keputusan dapat menjadi tidak stabil.

Secara teori, anak yang mengalami ditinggal bercerai oleh kedua orang tuanya sangat berpotensi bahkan dapat sudah mengalami langsung kepada kehidupan tidak ideal sebagaimana dikemukakan para psikolog di atas. Kalau sudah demikian masih optmiskah kita terhadap generasi kita jika kita menyaksikan angka perceraian di pengadilan agama sampai saat ini, tidak pernah menunjukkan angka penurunan?

Biodata Penulis

Nama : Drs.H. ASMU’I SYARKOWI, M.H.
Tempat & Tgl Lahir : Banyuwangi, 15 Oktober 1962
NIP : 19621015 19910301 1 001
Pangkat, gol./ruang : Pembina Utama Madya, IV/d
Pendidikan :

1. SD Negeri Sumberejo, 1975
2. MTs Negeri Srono, 1979
3. PGA Negeri Situbondo, 1982
4. Pondok Pesantren Misbahul Ulum Situbondo ( 1979-1982 )
5. Sarjana Muda Fak. Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1986
6. Sarjana Lengkap (S-1) IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1988
7. S-2 Ilmu Hukum Fak Hukum UMI Makassar 2001

Hobby : Pemerhati masalah-masalah hukum, pendidikan, dan seni.
Pengalaman Tugas :
 Hakim Pengadilan Agama Atambua 1997-2001
 Wakil Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2001-2004
 Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2004-2007
 Hakim Pengadilan Agama Jember Klas I A 2008-2011
 Hakim Pengadilan Agama Banyuwangi Klas IA2011-2016
 Hakim Pengadilan Agama Lumajang Kelas I A, 2016-2021.

Sekarang: :
Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I A, 31 Agustus 2021- sampai sekarang.
Alamat rumah : Pandan, Kembiritan, Genteng, Banyuwangi
Alamat e-Mail : asmui.15@gmail.com

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait