Di Balik Unjuk Rasa Anarkistis

  • Whatsapp

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi

(Hakim PTA Banjarmasin)

Jakarta, beritalima.com | Dalam alam demokrasi, demonstrasi (unjuk rasa) merupakan hal yang lumrah. Menyampaikan aspirasi di muka umum adalah hak konstitusional setiap warga negara. Namun, ketika demonstrasi bergeser menjadi aksi anarkis, nilai-nilai luhur demokrasi seketika runtuh. Fasilitas umum hancur, kios dan toko rakyat kecil rusak, transportasi lumpuh, bahkan nyawa melayang. Penjarahan yang terjadi di rumah beberapa pejabat juga sangat mengusik idealisme kita sebagai pecinta demokrasi.

Kita patut mengingat bahwa fasilitas publik yang hancur itu dibangun dengan dana APBN, yang bersumber dari pajak rakyat. Akibatnya, anggaran yang semestinya dapat digunakan untuk membangun jalan, memperbaiki sekolah, atau meningkatkan layanan kesehatan, terpaksa dialihkan untuk menutup biaya kerusakan. Bukankah ini sama saja dengan menunda kesejahteraan rakyat kecil yang selama ini sangat membutuhkan kehadiran negara? Harta yang dijarah juga belum tentu didapat dari uang haram. Bisa jadi harta tersebut mereka kumpulkan sedikit demi sedikit jauh sebelum menjadi pejabat.

Lebih tragis lagi, hilangnya nyawa dalam aksi anarkis ini—baik dari kalangan pendemo, aparat, maupun warga sipil yang kebetulan berada di lokasi kejadian—merupakan kerugian yang tidak dapat tergantikan. Mereka adalah anak bangsa yang semestinya tidak perlu menjadi korban dari pertarungan kepentingan segelintir pihak.

Fenomena ini mengingatkan kita pada peristiwa-peristiwa awal reformasi, ketika kerusuhan dijadikan instrumen untuk memaksakan perubahan. Pertanyaan kritis pun patut diajukan: apakah demonstrasi yang berujung rusuh ini murni gerakan aspiratif? Rasanya sulit dipercaya. Dalam teori gerakan massa, selalu ada aktor intelektual yang menjadi penggerak. Indikasi ke arah itu pun tampak dari berbagai unggahan di media sosial yang jauh sebelum demonstrasi menggaungkan narasi chaos, bahkan revolusi. Dalam konteks demikian tentu tidak dapat dipungkiri, tamnpaknya memaqng ada kelompok-kelompok yang tidak menyukai pemerintah, meski berasal dari latar belakang dan kepentingan yang berbeda, namun memiliki titik temu: keinginan melihat Indonesia kacau. Melalui medsos, siapa pun tahu hal ini. Modusnya, ada yang terang-tarangan dan ada yang samar. Merekalah yang tampaknya secara tidak langsung telah memberikan landasan epistemologis yang mengubah cara pandang masyarakat tentang ‘anarkisme’ dengan segenap konsukuensi ikutannya sehingga menjadi seolah ‘halal’. Celakanya, rakyat kecil yang tidak mengetahui permainan di balik layar justru menjadi korban pertama—kehilangan harta benda, pekerjaan, bahkan nyawa.

Kita juga tidak boleh lupa bahwa pemerintah dan DPR bukanlah mesin tanpa rasa. Mereka adalah manusia yang memiliki nurani. Aspirasi yang disampaikan secara santun, masif, dan terukur hampir selalu mendapat ruang untuk direspons. Sejarah mencatat, berbagai kebijakan pernah direvisi, bahkan dibatalkan, setelah publik mengajukan keberatan secara konstitusional dan damai.

Kebebasan berdemokrasi memang hak, tetapi hak itu datang bersama tanggung jawab. Demokrasi yang sehat menuntut kedewasaan semua pihak, agar perbedaan pendapat tidak berubah menjadi ajang saling melukai. Aspirasi yang disampaikan dengan damai membuka ruang dialog yang konstruktif, sementara kekerasan hanya meninggalkan luka dan kerugian.

Refleksi ini harus menjadi pengingat bersama bahwa ketika negara ini kacau, pihak pertama yang menderita bukanlah para elite, melainkan rakyat kecil. Mereka yang setiap hari berjuang mencari nafkah, membayar pajak, dan berharap kehidupannya sedikit lebih baik daripada kemarin.

Kini, pilihan ada di tangan kita. Apakah kita akan membiarkan demokrasi disandera oleh kelompok yang menghendaki kehancuran, ataukah bersama-sama menjaganya tetap sehat, bermartabat, dan berpihak pada kepentingan bangsa?

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com

Pos terkait