Di Depan Senator dan Bupati Lampung Utara, Ketua DPD RI Sebut Ponpes Prototipe Civil Society

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti mengatakan, Pondok Pesantren (Ponpes) adalah prototipe dari masyarakat madani atau civil society. Sebab, sejak dulu, pondok selalu bercirikan mandiri dan menjadi solusi buat masyarakat sekitar serta memberi kontribusi bagi bangsa dan negara ini.

Itu dikatakan LaNyalla Mahmud Mattalitti saat bersilaturahim ke Ponpes Wali Songo di Abung Selatan, Kabupaten Lampung Utara, Provinsi Lampung, Jumat (12/3). Pagi harinya, LaNyalla hadir di Ponpes Wali Songo di Lampung Tengah.

Ponpes adalah prototipe dari masyarakat madani, atau civil society. Sebab, sejak dahulu, Ponpes selalu bercirikan mandiri dan menjadi solusi bagi masyarakat sekitar. Dan memberi kontribusi bagi bangsa dan negara ini,” ungkap LaNyalla dalam pidatonya, Jumat (12/3) siang.

Turut mendampingi Ketua DPD, Senator asal Provinsi Lampung, Ahmad Bastian, Bustami Zainudin, Abdul Hakim dan dr Jihan Nurlela. Juga hadir Bupati Lampung Utara, Budi Utomo dan Ketua Yayasan Ponpes Wali Songo, HM Abu Noer Choiri serta Pengasuh Ponpes Wali Songo, KH Noer Qomaruddin.

Dikatakan LaNyalla, pada zaman sebelum kemerdekaan, Ponpes sudah menjadi institusi civil society. Saat itu, Ponpes tidak hidup dari dana atau santunan yang diberikan penjajah Belanda tetapi hidup mandiri dari cocok tanam dan semangat gotong royong santri bersama masyarakat sekitar.

“Pondok juga jadi solusi bagi masyarakat sekitar. Ada yang sakit, minta doa ke kiai. Ada yang tidak punya beras, datang ke pondok. Ada yang punya masalah, minta nasehat kiai, dan seterusnya,” ungkap Senator yang kerap dijuluki Mr Tahajud Call itu.

Artinya, kata LaNyalla, Ponpes benar-benar menjadi institusi masyarakat madani. Karena itu peran ulama dan kiai-kiai pengasuh pondok pesantren saat itu juga tidak bisa dihapus dari sejarah kemerdekaan Indonesia.

Termasuk peran para ulama dan kiai se- Nusantara dalam memberikan pendapat dan masukan kepada BPUPKI atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yang kemudian menjadi PPKI atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.

Juga sikap legowo para ulama dan kiai, yang demi keberagaman, setuju mengganti dan menghapus anak kalimat ‘Piagam Jakarta’ yang menjadi pembukaan UU Dasar 1945, diganti dengan kalimat; ‘Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa’. “Dan, puncak dari perjuangan di masa itu, adalah lahirnya Resolusi Jihad untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang dikeluarkan 22 Oktober 1945 oleh Kiai Haji Hasyim Asy’ari di Surabaya.”

Ini artinya, lanjut LaNyalla, para ulama dan kiai serta santri dalam wajah Indonesia bukan hanya perintis kemerdekaan, tetapi juga pemilik saham mayoritas. Dan, negara ini sudah mengakui dengan memberikan gelar pahlawan nasional kepada banyak ulama dan kiai di negara ini, termasuk pengakuan terhadap kontribusi Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 di Surabaya, dimana 22 Oktober ditetapkan menjadi Hari Santri dan masuk dalam kalender hari besar yang diperingati.

“Dan, sampai hari ini, cinta bangsa tersebut tetap ditunjukkan dengan peran pondok pesantren sebagai penjaga nilai-nilai moral atau akhlak warga bangsa,” tukas LaNyalla yang dikenal dekat dengan para kiai pengasuh ponpes itu. (akhir)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait