Jakarta, beritalima.com – Ketika beredar sebuah artikel berjudul “Hilang Misterius! Beathor: Aktivis Bernama Widodo Diduga Memalsukan Ijazah Jokowi di Pasar Pramuka Salemba”, yang turut menyebut dua nama aktivis lain yaitu “Inda” dan “Deny Iskandar”, maka penting untuk melakukan klarifikasi atas kebenaran informasi tersebut.
Berdasarkan konfirmasi kepada pihak terkait, diketahui bahwa nama “Inda” dimaksud sebenarnya adalah Indra Kramadipa, dan “Deny Iskandar” seharusnya tertulis Denny Iskandar (dengan dua huruf “n”). Lebih lanjut, ketiganya Widodo, Indra Kramadipa, dan Denny Iskandar dikonfirmasi tidak hilang dan masih dapat ditemui.
Salah satu dari mereka menjelaskan, seluruh proses administratif dalam pendaftaran calon Gubernur DKI Jakarta telah dilakukan dengan benar dan semua dokumen yang diajukan adalah asli. Namun yang menjadi sorotan adalah sosok mengatasnamakan diri sebagai Joko Widodo. Muncul pertanyaan: Apakah benar orang tersebut adalah Joko Widodo yang asli? Karena terdapat perbedaan mencolok antara data pribadi dalam dokumen resmi dan sosok yang tampil di hadapan publik.
Jika benar sosok tersebut bukan Joko Widodo yang asli, maka muncul pertanyaan yang lebih besar: Di mana Joko Widodo yang sesungguhnya?
Dalam dunia intelijen, pemalsuan identitas atau penyamaran bukanlah hal asing. Dulu dikenal metode klasik seperti penggunaan topeng atau operasi plastik. Kini, di era modern, kemungkinan seperti kloning bukan lagi fiksi ilmiah. Namun mengapa kemungkinan ini tidak pernah dibahas secara terbuka? Inilah kelemahan dunia telik sandi kita, terutama ketika kita memasuki era perang asimetris, di mana operasi intelijen memiliki pengaruh lebih besar ketimbang perang bersenjata.
Keberhasilan dari sebuah operasi intelijen sering kali terletak pada keberhasilan membentuk persepsi publik. Dalam kasus ini, persepsi yang sengaja dibangun adalah seputar keaslian ijazah Joko Widodo. Mengalihkan perhatian dari kemungkinan yang lebih serius: bahwa sosok yang mengaku sebagai Joko Widodo sebenarnya bukanlah orang yang dimaksud. Nama panggilan seperti Jokowi, bahkan penyebutan nama Mulyono, semakin memperkuat dugaan ini.
Perang persepsi semacam ini bukanlah yang pertama. Kita telah menyaksikan hal serupa dalam gerakan reformasi yang berujung pada penggantian UUD 1945. Publik digiring untuk percaya bahwa reformasi adalah reaksi terhadap lamanya masa pemerintahan Presiden Soeharto, sementara keberhasilannya sebagai pemimpin yang membawa Indonesia menjadi Macan Asia dihilangkan dari narasi.
Padahal, gerakan reformasi kala itu merupakan bagian dari skema global, dengan keterlibatan National Democratic Institute (NDI) yang dipimpin oleh Madeleine Albright, mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, melalui jaringan Organisasi Non-Pemerintah (Ornop) yang tergabung dalam Koalisi Ornop untuk Konstitusi Baru. Mereka menjalin koneksi dengan para aktor di DPR/MPR dan birokrasi baik sipil maupun militer yang mengkhianati amanat rakyat.
Kasus serupa kini muncul kembali dalam bentuk upaya mendeligitimasi 8 Tuntutan Forum Purnawirawan juga Prajurit TNI, yang turut ditandatangani oleh Jenderal TNI Purnawirawan Try Sutrisno. Narasi yang dibangun seolah menunjukkan beliau ditunggangi oleh para purnawirawan lain. Namun faktanya, baik Jenderal Try maupun forum purnawirawan itu sendiri telah membaca, memahami dan menyetujui isi tuntutan tersebut termasuk tuntutan pertama, yakni kembali ke UUD 18 Agustus 1945.
Tidak masuk akal jika para purnawirawan yang lebih yunior, bahkan yang pernah menjadi anak buah langsung Jenderal Try saat menjabat Panglima ABRI, dianggap bisa “menunggangi” beliau. Justru ini menunjukkan kesamaan visi dan keprihatinan terhadap arah bangsa.
Semoga Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa, memberikan petunjuk kepada kita semua, agar kita dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Aamiin ya Rabbal ‘Aalamiin.
Oleh: Zulkifli S. Ekomei, aktifis kebangsaan

