JAKARTA, Beritalima.com– Wakil Ketua Komite I DPD RI, Fernando Sinaga menyampaikan berbagai temuan selama kunjungan ke daerah dalam Rapat Paripurna Masa Sidang V Tahun Sidang 2020-2021 yang digelar secara hybrid di Gedung Nusantara V Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (13/8) petang.
“Aspirasi yang kami dapat dari stakeholders pertanahan dan tata ruang di Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) tidak optimalnya keberadaan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) sebagai upaya mendukung pelaksanaan dan tercapainya target Reforma Agraria.
GTRA yang diketuai Gubernur dan beranggotakan Bupati/Walikota serta berbagai sektor, merupakan instrumen untuk membantu reforma agraria yang memastikan program prioritas pemerintah mengatasi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah di daerah.
Fernando meyakini keberadaan GTRA dapat menyelesaikan berbagai persoalan pertanahan, tata ruang dan konflik berkepanjangan termasuk tuntutan masyarakat mengenai peninjauan HGU dan HTI dilahan yang sudah puluhan tahun ditempati masyarakat.
Dia menilai, kesemuanya ini sesungguhnya dapat dimediasi oleh GTRA di daerah.
“Dalam kesempatan ini, kami berharap DPD RI lebih optimal lagi melakukan pengawasan terhadap GTRA di tingkat nasional dan daerah,” kata Fernando.
Anggota Badan Pengkajian MPR RI ini juga mengkritik lemahnya kolaborasi dan koordinasi Kementerian ATR/BPN dan Kementerian LHK terkait percepatan penyediaan Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) dari kawasan hutan.
Penyediaan TORA dari kawasan hutan di Kaltara berjalan lambat. “Saya duga hal ini juga terjadi di provinsi lain. Komunikasi, koordinasi dan kolaborasi antara Kementerian ATR/BPN dengan Kementerian LHK perlu agar penyediaan TORA dari Pelepasan Kawasan Hutan belum terlaksana dengan baik.
“DPD RI mendesak adanya kemauan politik Menteri LHK dan Menteri ATR/BPN untuk terus memperbaiki pola komunikasi, koordinasi dan kolaborasinya,” tegas Fernando.
Dia
juga mengkritik lambannya kedua kementerian dalam menyelesaikan sengketa lahan Kantor Pemerintah Kabupaten Tana Tidung (KTT) yang mendiami lahan milik Inhutani sejak Pemkab Tana Tidung berdiri 2007.
Pemkab Tana Tidung selama ini membayar sewa lahan kantor pemerintahan KTT miliaran rupiah per tahun kepada Inhutani, bahkan Inhutani meminta Pemkab Tana Tidung membeli lahan itu Rp50 miliar lebih.
“Saya bersama Bupati KTT sudah mengadvokasi ini sejak 6 bulan lalu, tetapi belum ada solusi. Saya berharap dimasa sidang berikutnya kasus ini dapat diadvokasi bersama oleh Komite I dan Komite II DPD RI.” jelas Fernando.
Dikatakan, tidak perlu ada jual beli sampe puluhan miliar, seharusnya lahan itu menjadi bagian dari Pelepasan Kawasan Hutan (PKH) sebagaimana telah diatur oleh PP nomor 43 tahun 2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin dan/atau Hak Atas Tanah. (akhir)