BONDOWOSO, beritalima.com – Sungguh miris, apa yang dialami Muhammad Hendra Afriyanto. Siswa kelas VII SMP Negeri 2 Tamanan Bondowoso ini, diminta berhenti oleh pihak sekolah, karena memiliki keterbatasan fisik. Difabel daksa ini, dianggap tak bisa mengerjakan tugas sekolah oleh guru, karena tak bisa menulis.
Asyati, ibunda Hendra mengatakan, dirinya dan putranya diminta datang ke sekolah oleh salah seorang guru, pada Senin (3/8/2020) kemarin.
“Sebagaimana temanya, anak saya mengikuti pembelajaran dari rumah. Guru memberikan tugas dan dikumpulkan oleh siswa beserta orang tua setiap hari Selasa. Saya agak heran, karena biasanya pengumpulan tugas hari Selasa. Kok ini Senin. Tetapi kata gurunya, ini khusus untuk anak saya,” jelasnya saat dikonfirmasi.
Saat tiba di sekolah, ia menyerahkan tugas anaknya. Kemudian guru tersebut mengajak Asyati dan Hendra untuk berbincang. Namun ia lupa nama guru tersebut.
“Pokoknya guru honorer. Guru itu menanyakan kemampuan fisik Hendra untuk mengikuti pendidikan di sekolah. Sebab, kedua tangan anak saya sejak bayi tidak bisa digerakkan secara optimal. Sehingga untuk menulis dan mengerjakan PR, saya yang harus menuliskannya,” paparnya.
Asyati berusaha menjelaskan, bahwa sejak dari SD sudah seperti itu. Namun cara berpikirnya normal, dan bisa mengikuti pelajaran. Dia bisa membaca, dan nilai matematika saat SD menonjol.
“Guru tersebut bilang, terus gimana kalau ujian. Masak ibu yang mau nulis,” tutur Asyati, menirukan ucapan guru yang ditemuinya.
Kemudian ia dan buah hatinya dibawa menemui kepala sekolah dan beberapa orang guru. Dalam pertemuan itu, salah seorang guru mengatakan, bahwa pihak sekolah kesulitan jika Hendra tetap bersekolah di SMPN 2 Tamanan.
“Saat itu saya jawab, apakah berarti di sekolah ini tidak sanggup mengajar anak saya dengan kondisi seperti ini. Kemudian salah seorang guru menyarankan agar anak saya dipindahkan saja ke Sekolah Luar Biasa (SLB),” akunya.
Ia merasa sekolah sepertinya tak bisa menerima keberadaan anaknya. Saat itu pula, ia dengan berat hati menyanggupi saran itu, dan mengembalikan sejumlah buku pelajaran milik buah hatinya, kepada sekolah.
“Pulang sekolah, anak saya langsung menangis cukup lama. Beberapa jam menangis,” cerita Asyati, sembari mengusap air matanya yang terus mengalir.
Sementara itu, Suyadi ayah Hendra, mengaku tak sanggup jika harus menyekolahkan di Sekolah Luar Biasa (SLB) yang letaknya di pusat kota.
Sementara mereka tinggal di kecamatan paling selatan. Sementara SMPN 2 Tamanan, hanya berjarak sekitar 10 menit perjalanan motor dari rumah mereka.
“Pekerjaan saya sebagai kuli bangunan harus bekerja dari pagi hingga sore hari. Kita kendala transportasi dan anak saya ini harus ada yang antar jemput kalau dia sekolah di kota. Biaya transportasinya akan lebih mahal,” katanya.
Ia menyayangkan pihak sekolah yang meminta anaknya keluar dari sekolah, ketika proses pendidikan sudah berjalan.
“Padahal, sejak awal, kita sudah sampaikan secara terbuka, kondisi keterbatasan fisik anak saya ini kepada guru. Saat itu, SMPN 2 Tamanan tidak mempermasalahkan,” katanya penuh sesal.
Sementara itu, Kepala SMPN 2 Tamanan, Murtaji, tak mengakui jika dirinya meminta Hendra untuk mengundurkan diri dari sekolah. Justru ia menyebut sebaliknya, bahwa orang tua Hendra sendiri yang meminta anaknya mundur dari sekolah.
“Tidak benar itu. Jadi kemarin orang tuanya datang ke sekolah, minta konsultasi. Ibunya sendiri kok, yang bilang, ingin memindahkan anaknya ke SLB,” akunya, Selasa (4/8/2020).
“Ini kita masih koordinasi, tapi tetap sekolah di sini. Memang sekolah di Bondowoso, harus menerima. Memang di sini, ada yang seperti itu, tapi bisa menulis. Sudah ya, saya masih ada urusan rapat,” katanya saat dihubungi via telepon oleh wartawan.
Informasi dihimpun, tiga guru SMPN 2 Tamanan mendatangi rumah Hendra itu, tiga orang guru itu menyampaikan permohonan maaf. Serta meminta Hendra agar tetap bersekolah di SMPN 2 Tamanan. Bahkan buku-buku yang sempat dikembalikan, diberikan lagi kepa Hendra. (*/Rois)