JAKARTA, Beritalima.com– Belakangan ada upaya untuk menjadikan Joko Widodo (Jokowi) presiden tiga periode. Hal tersebut dilontarkan sebagian elit serta petualang politik yang ingin mendapat keuntungan pribadi dan kelompok dari kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) selama ini.
Padahal Jokowi sudah berulang menyatakan akan tetap konsisten dan berkomitmen terhadap UUD 1945 yang mengatur masa jabatan presiden maksimal dua periode.
Survei Parameter Politik Indonesia juga menunjukkan, banyaknya penolakan dari responden terhadap wacana tersebut. Sedikitnya, 45,3 persen tidak setuju Jokowi menjabat tiga periode. Soalnya, banyak masyarakat hidup susah selama Jokowi berkuasa.
Keinginan presiden tiga periode, ungkap pengamat politik, Muhammad Jamiluddin Ritonga ketika bincang-bincang dengan Beritalima.com, Rabu (9/6) pagi, juga mengingkari amanat reformasi.
Soalnya, ungkap pengajar Isu dan Krisis Manajemen, Metode Penelitian Komunikasi dan Riset Kehumasan tersebut, penetapan dua periode yang dilakukan para reformis agar tak terulang masa kegelapan kepemimpinan Orde Baru dan presiden seumur hidup di era Soekarno berkuasa.
Bahkan, lanjut dosen Universitas Esa Unggul Jakarta ini, DPD RI serta mayoritas partai politik termasuk yang punya kursi di parlemen, dengan tegas menolak wacana presiden tiga periode.
“Ini artinya, untuk dapat mengamandemen UUD 1945 peluangnya sangat kecil karena untuk mengajukan amandemen minimal mendapat dukungan sepertiga dari jumlah anggota MPR RI. Dan, kalaupun itu jadi dibahas, harus didukung dua pertiga dari jumlah anggota MPR RI. Anggota MPR RI itu adalah gabungan anggota DPR RI dengan anggota DPD RI,” kata dia.
Selain itu, lanjut pria yang akrab disapa Jamil dan bapak dari dua putra ini, tidak ada alasan yang cukup kuat bagi elit dan petualang politik untuk terus menerus menyuarakan presiden tiga periode.
“Jadi, semua yang merasa reformis harus mencegah jangan sampai ada amandemen kelima UUD 1945. Hal itu dimaksudkan untuk mencegah penumpang gelap dan para oligark yang hanya berpikir pragmatis demi kepentingan sesaat,” demikian Muhammad Jamiluddin Ritonga. (akhir)