JAKARTA, Beritalima.com– Belakangan, terutama pasca disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) menjadi UU oleh Rapat Paripurna DPR RI, Senin (5/10), para wakil rakyat di parlemen dibully berbagai pihak.
Ada yang mengatakan DPR adalah singkatan dari Dewan Pengkhianat Rakyat, Dewan Perwakilan Rapok. Ada juga menyindir para wakil rakyat melalui lagu. Para pengkritik ada yang menyebut DPR makan enak, rakyat makan tempe dan berbagai macam sindiran lainnya.
“Apa yang membuat DPR dibully sedemikian rupa
? Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, Muhammad Jamiluddin Ritonga ketika bincang-bincang dengan Beritalima.com, Minggu (25/10) mengingatkan agar DPR RI kembali kepada fungsinya sebagai wakil rakyat. “DPR dibully karena para pembully menilai DPR tidak melaksanakan fungsinya dengan baik, terutama fungsi legislasi dan fungsi pengawasan,” kata pria yang akrab disapa Jamil tersebut.
Dikatakan Jamil, fungsi legislasi DPR dalam membuat UU dinilai sangat tidak produktif. Dari tahun ke tahun tidak banyak UU yang dihasilkan.
Inisiatif DPR mengajukan RUU juga sangat rendah. Contohnya, UU Cipta Kerja inisiatif dari Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Dalam membahas RUU, DPR kerap tidak aspiratif. Kasus pembahasan RUU Cipta Kerja hingga menjadi UU tidak melibatkan semua pemangku kepentingan. Akibatnya, UU yang dihasilkan mendapat penolakan dari masyarakat,” jelas dia.
Selain itu, fungsi pengawasan yang dimiliki DPR RI belakangan ini sangat mandul. Ini terjadi karena dominannya partai pendukung pemerintah di DPR.
Hanya Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang masih melaksanakan fungsi pengawasan memadai. Namun suara kedua partai ini di Parlemen tertelan oleh dominannya partai pendukung pemerintah.
Akibatnya, lanjut Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta 1996 ini, yang dihadapi masyarakat tidak menggema di DPR. “Jangankan memerjuangkan aspirasi rakyat, dijadikan agenda saja sudah tidak lagi menjadi prioritas.
Justeru suara Pemerintah (eksekutif) yang menguat di Senayan. Persoalan Pemerintah dijadikan prioritas untuk segera dibahas guna mendapat solusi.”
Semua itu membuat sebagian masyarakat kecewa terhadap DPR. Kekecewaan itu oleh sebagian masyarakat diaktualisasikan dengan mem-bully DPR melalui berbagai saluran, terutama media sosial.
“Sayangnya, diantara bully yang umumnya bernada negatif itu sangat mengeneralisasikan DPR. Seolah-olah semua anggota DPR terompet atau corong pemerintah.
Padahal, kata Jamil, tidak semua seperti itu. Contohnya, Partai Demokrat dan PKS masih bersikap tegas dan aspiratif dalam melaksanakana fungsi legislasi dan fungsi pengawasan. Hanya saja mereka kalah suara.
Karena itu, anggota masyarakat seyogyanya memberi dukungan penuh atas pelaksanaan fungsi legislasi dan pengawasan yang dilakukan Partai Demokrat dan PKS.
Dukungan masyarakat tersebut akan memperkuat daya tawar yang diperjuangkan Partai Demokrat dan PKS kepada pemerintah. Hanya ini yang bisa dilakukan masyarakat untuk mengurangi dominasi partai pendukung pemerintah di parlemen.
“Semoga DPR menyadari hal itu, dan kembali kepada fungsinya. Fungsi budgeting, legislasi, dan fungsi pengawasan harus aspiratif dan dioptimalkan. Hanya dengan begitu DPR akan dihormati dan terbebas dari bully masyarakat,” demikian Muhammad Jamiluddin Ritonga. (akhir)