SURABAYA, beritalima.com — Kasus dugaan penipuan dan penggelapan tanah bernilai miliaran rupiah kembali bergulir di Pengadilan Negeri Surabaya. Terdakwa Sony Sofyan Roziqin bin Sunaryo (Alm) resmi diseret ke meja hijau oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Tanjung Perak. Ia didakwa melanggar Pasal 378 KUHP tentang penipuan atau Pasal 372 KUHP tentang penggelapan. Rabu (3/12/2025).
Perkara ini bermula dari rencana bisnis tambak udang yang digagas Anthony Setiawan Teodorus bersama ibunya, Lianawati Setyo, pada September 2019. Melalui seorang makelar, keduanya dikenalkan dengan pengurus Koperasi Serba Usaha Karya Mandiri, yakni Sunaryo (alm.) selaku Ketua dan Sony sebagai Sekretaris.
Dalam pertemuan di sebuah rumah makan di Situbondo, Sony dan Sunaryo menawarkan dua bidang tanah berstatus SHGU No. 21 seluas 198.609 M2 dan SHGU No. 22 seluas 45.350 M2 yang terletak di Desa Pelayan, Kecamatan Panarukan, Situbondo.
Keduanya meminta pembayaran Rp 5 miliar + 1 unit Mitsubishi Pajero (Rp 650 juta) dengan skema angsuran. Salah satu sertifikat disebutkan masih terikat di Bank Mandiri Syariah.
Tergiur tawaran tersebut, keluarga Anthony mulai mentransfer uang. Pada 19 September 2019, uang Rp 500 juta dikirimkan sebagai tanda jadi, disusul transfer-transfer berikutnya hingga mencapai miliaran rupiah.
Sepanjang September 2019 hingga Juli 2020, Anthony dan Lianawati tercatat mentransfer lebih dari 25 kali ke rekening Sunaryo maupun Sony, dengan total kerugian yang ditaksir JPU mencapai ± Rp 5.650.000.000.
Sony meyakinkan korban bahwa proses balik nama, rekomendasi dinas, hingga peralihan hak sedang diproses. Bahkan sejumlah dokumen resmi dari Dinas Perikanan Situbondo sempat berhasil mereka dapatkan.
Namun bukannya menyerahkan tanah yang telah dibayar korban, terdakwa dan Sunaryo justru menawarkan dua SHGU tersebut kepada pihak lain.
Di sinilah Sanjaya Sundjoto muncul, menerima tawaran Sunaryo dan Sony dengan harga Rp 5 miliar, tanpa mempertanyakan mengapa objek seluas itu dijual terburu-buru dan di luar skema normal.
Broker Hary Prayoto kemudian menawarkan tanah tersebut kepada Sanjaya. Menariknya, Sanjaya langsung menyetorkan DP Rp 100 juta, sebuah tindakan yang disebut JPU sebagai “pemicu percepatan pengalihan” yang berpotensi merugikan pihak lain.
Keputusan spontan ini dinilai sebagai langkah oportunis mengamankan objek besar dengan modal kecil, memperkuat posisi tawarnya terhadap penjual dan mendorong terjadinya transaksi meski dokumen dasar belum jelas.
Sumber dari Kejaksaan menyebut langkah ini sebagai tanda bahwa Sanjaya sadar sedang menangkap peluang, bukan sekedar membeli tanah.
Pada 20 Juli 2020, Sunaryo, Sony, Hary, dan Sanjaya bersama-sama mendatangi kantor notaris Yulius Efendi. Pertemuan itu menjadi jejak penting. Sanjaya hadir dalam forum legal, tanpa mengecek riwayat jual beli sebelumnya dan seolah mengabaikan kalau objek itu masih memiliki keterikatan dengan pembeli lain.
Dugaan kelicikan transaksi baru tercium, ketika Dinas Perikanan Situbondo memberi tahu Anthony bahwa ada pihak lain yang mengurus rekomendasi atas SHGU yang sama. Pihak itu adalah Sanjaya.
Langkah ini menunjukkan bahwa Sanjaya bukan sekadar pembeli pasif yang tidak tahu apa-apa, melainkan, mengurus administratif, mengajukan rekomendasi dan berupaya mempercepat legalitas, seolah ia adalah pihak yang berhak penuh atas tanah tersebut.
Rekomendasi ini menjadi bukti bahwa peran Sanjaya bukan figuran, melainkan aktor yang bergerak aktif dalam proses alih hak yang sebenarnya masih milik korban Anthony Setiawan Teodorus.
Diketahui, dalam persidangan hanya Sony yang menjadi terdakwa. Sementara posisi hukum Sunaryo tidak dilanjutkan karena telah meninggal dunia.
Pada saat sidang pemeriksaan terdakwa, Sony mengakui semua pembuatannya.
“Saya salah yang mulia. Saya bersedia mengembalikan semua kerugian yang ada. Sebab uangnya masih ada,” katanya dihadapan ketua majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkaranya yaitu Nur Kholis dan Jaksa Penuntut Umum Kejari Tanjung Perak Hajita Cahyo Nugroho. (Han)







