Difabel Menjadi Master of Ceremony/MC, Kenapa Tidak?

  • Whatsapp
Difabel menjadi Master of Ceremony/MC, kenapa tidak?

Jakarta, beritalima.com| – Sebuah acara webinar menarik diselenggarakan Terala Foundation, yang mengajak sahabat difabel untuk berani tampil sebagai Master of Ceremony atau MC . Kegiatan   mengusung tema “Menjadi MC Profesional untuk Acara yang Inklusif: Memecahkan Stigma Negatif & Keraguan” ini (11/12), menghadirkan Ahmad Taufik Zulfikri, seorang MC profesional difabel netra yang sejak 2020 dipercaya membawakan acara kementerian maupun pemerintah daerah.

Public speaking sering dianggap sekadar keterampilan teknis. Namun, bagi difabel, ia menjadi pintu masuk menuju pengakuan sosial dan kesempatan kerja. Taufik, yang awalnya tak pernah bermimpi menjadi MC, justru menemukan panggilan hidupnya lewat sebuah pelatihan.

“Di pertemuan kedua saya tiba-tiba disuruh jadi MC. Grogi, tapi dari sana saya malah ketagihan,” kenangnya. Kisah ini mengingatkan kita bahwa kesempatan kecil bisa mengubah arah hidup seseorang—asal ruang inklusi benar-benar dibuka.

Meski pengalaman Taufik menginspirasi, realitas di lapangan masih jauh dari ideal dan penuh tantangan. Wujud panggung umumnya, mayoritas belum dilengkapi jalur pemandu bagi netra. Lalu, masih kurangnya kesadaran penyelenggara, gladi bersih sering diabaikan, padahal vital untuk orientasi difabel.

Dan, yang tak kalah pentingnya, standar profesional yang bias: artikulasi, intonasi, hingga bahasa tubuh sering dinilai tanpa mempertimbangkan keterbatasan akses bagi sahaba difabel. Inilah inkonsistensi yang harus dikritisi. Karena inklusi sering dijadikan jargon, tetapi tidak diikuti dengan kebijakan teknis yang memadai.

Taufik membagikan strategi praktis yang bisa diterapkan penyelenggara maupun MC difabel, seperti orientasi panggung adalah wajib ada arahan jelas saat gladi. Penguasaan rundown, MC harus memahami alur acara agar siap menghadapi perubahan mendadak. Adaptasi gaya bahasa, menyesuaikan dengan jenis acara—formal, semi formal, atau nonformal.

Sehingga, menghadirkan MC inklusif mesti memahami artikulasi, intonasi, kosa kata, bahasa tubuh, dan penampilan tetap menjadi standar, namun harus dipahami dalam konteks aksesibilitas. Solusi ini sederhana, tetapi jika diterapkan konsisten, akan menghapus keraguan publik terhadap kapasitas difabel.

Atin, Direktur Terala Foundation menuturkan, lembaganya yang berdiri sejak 2022 fokus membantu difabel terhubung ke dunia kerja melalui peningkatan keterampilan. Pernyataan ini bukan sekadar visi, melainkan pengakuan bahwa difabel memiliki hak yang sama untuk tampil, didengar, dan dihargai.

Webinar ini menjadi ruang di mana suara difabel tidak hanya hadir sebagai inspirasi, tetapi juga sebagai pengetahuan praktis yang layak diikuti. Pesan Taufik, seorang MC harus siap menghadapi situasi tak terduga dengan kreativitas.

Dari sini, kita belajar bahwa inklusi bukan sekadar memberi kesempatan, melainkan membangun ekosistem yang mendukung keberlanjutan. Jika panggung inklusif benar-benar diwujudkan, maka stigma negatif akan runtuh, dan keraguan publik akan berganti dengan kepercayaan.

Jurnalis: abdul hadi (difabel netra)/abri

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait