JAKARTA, Beritalima.com– ITampaknya mpian Kepala Staf Presiden (KSP), Jenderal Purnawiran TNI Moeldoko untuk menggusur Agus Harimurti Yudhoyono sebagai Ketua Umum Partai Demokrat 2020-2025 melalui Kongres Luar Biasa (KLB) tampaknya sudah terkubur.
Didapat kabar dari lingkaran Partai Demokrat, sudah ada rencana putra sulung presiden pertama dua periode pilihan rakyat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bakal menggandeng Ketua Presium Kesatuan Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Jenderal Purnawirawan TNI, Gatot Nurmantyo masuk ke lingkaran partai berlambang ‘Bintang Mercy’ tersebut.
“Tampaknya ada kekhawatiran Moeldoko yang mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) itu dapat menggusur AHY dari kursi Ketua Umum Partai Demokrat melalui KLB. Untuk mencegah hal itu terjadi, banyak pihak menyarankan AHY menggandeng Gatot Nurmantyo,” kata pengamat politik Universitas Esa Unggul Jakarta, Muhammad Jamiluddin Ritonga.
Saran tersebut, kata pria yang akrab disapa Jamil ini saat bincang-bincang dengan Beritalima.com di kawasan Senayan, Jakarta, Kamis (11/2) pagi, cocok bila Indonesia masih menganut paham otoriter.
Baik Moeldoko maupun Gatot Nurmantyo sama-sama mantan KSAD dan Panglima TNI. Hanya saja, Moeldoko lebih dahulu menjadi KSAD dan Panglima TNI. Posisi Moeldoko sebagai KSAD maupun Panglima TNI digantikan Gatot Nurmantyo.
Moeldoko memegang kedua jabatan penting di jajaran TNI itu periode kedua pemerintahan SBY. Sedangkan Gatot setelahnya, periode pertama Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).
Lebih jauh dikatakan Jamil, dii negara otoriter, kekuatan jabatan atau pangkat harus dilawan dengan kekuatan jabatan atau pangkat pula. Jenderal bintang empat harus dilawan jenderal bintang empat juga.
Dengan kekuatan yang setimpal, nyali seseorang untuk menggusur orang lain akan kendor. Sebab, peluangnya untuk berhasil akan berkurang. Karena itu, keinginan menggusur orang lain akan diurungkan.
Namun, Indonesia saat ini tidak lagi negara otoriter seperti era sebelum reformasi, tetapi sudah menganut demokrasi. Kekuatan untuk memenangkan pertarungan tidak ditentukan banyaknya bintang dipundak. Kekuatan basis massa pendukung akan lebih menentukan.
Jadi, lanjut pengajar Isu dan Krisis Manajemen, Metode Penelitian Komunikasi dan Riset Kehumasan itu, meski AHY hanya berpangkat mayor tetapi bila dia didukung mayoritas kader Partai Demokrat, Moeldoko yang pernah berbintang empat tidak akan mampu menggusur AHY dari posisi Ketua Umum Partai Demokrat.
Untuk itu, AHY harus mampu menjaga soliditas dan dukungan dari Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Demokrat. Cabang (DPC) dan Ketua DPD adalah pemegang hak suara partai baik dalam pemilihan ketua umum maupun Kongres Luar Biasa (KLB).
Sebab, kata Dekan Fikom IISIP Jakarta 1996 – 1999 itu, mereka inilah yang mempunyai hak suara dalam pemilihan ketua umum, termasuk untuk meminta KLB. Kalau ini dapat dilakukan, tidak mungkin terjadi KLB di Partai Demokrat dalam kepemimpinan AHY.
Infonya, mayoritas Ketua DPD dan Ketua DPC solid mendukung AHY. Hal itu terlihat dari dukungan tertulis kesetiaan DPD dan DPC se Indonesia kepada AHY. Demikian pula dengan pernyataan sejumlah Ketua DPD maupun DPC melalui media massa.
Selain itu, para senior Partai Demokraf yang mendukung Moeldoko praktis sudah tidak mengakar di DPD dan DPC. Mereka ini tidak lagi punya pengaruh untuk mengajak DPD dan DPC menggusur AHY.
Para senior tersebut hanya bisa berteriak melalui media massa dan media sosial. Mereka ini seperti menyiram air di gurun pasir yang tidak membekas.
“Karena itu, celah untuk melakukan KLB tampaknya sudah tertutup. Karena itu, peluang Moeldoko menggusur AHY tampaknya Nyaris tertutup,” demikian Muhammad Jamiluddi Ritonga, penulis buku Perang Bush Memburu Osama yang sempat beberapa kali naik cetak itu. (akhir)