JAKARTA, Beritalima.com | Pendiri sekaligus Direktur Eksekutif Jaga Adhyaksa (JA), David Sitorus, meminta Presiden Joko Widodo untuk turun tangan memperhatikan kasus skandal mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari karena dinilai merusak citra penegak hukum Kejaksaan Republik Indonesia.
“Kita membutuhkan campur tangan Presiden Jokowi karena hal ini berkaitan dengan citra penegakan hukum di Indonesia, terutama institusi Kejaksaan. Apabila hal ini tidak diselesaikan dengan baik, justru akan membuat masyarakat semakin tidak percaya dengan penegak hukum. Apalagi Presiden Jokowi dalam Rapat Kerja Nasional Kejaksaan RI tahun 2020 menyebut kiprah Kejaksaan adalah wajah pemerintah dan wajah kepastian hukum di mata rakyat Indonesia,” kata David dalam keterangannya, Jakarta, Rabu (30/6).
David menuturkan bahwa untuk menuntaskan skandal Pinangki yang merupakan seorang mantan jaksa, dibutuhkan kekuatan yang lebih besar yaitu Presiden Jokowi untuk turun tangan, pasalnya terdapat banyak kejanggalan dalam kasus ini yang belum terungkap.
Dengan mengutip pernyataan dari Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak) Barita Simanjuntak yang menyebutkan adanya “kekuatan besar” dalam kasus skandal Pinangki dan Djoko Tjandra, David berpendapat bahwa Presiden Jokowi harus turun tangan.
“Karena itu pula, saya sangat pesimistis Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung akan mengajukan kasasi. Jangan-jangan Ketua Komjak Barita Simanjuntak benar tentang adanya “kekuatan besar” di dalam peristiwa ini,” kata David.
Lebih jauh, David menjelaskan keengganan JPU mengajukan kasasi juga tercermin dari pernyataan dari Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Ali Mukartono. Pertama, Ali mempersoalkan mengenai wartawan yang selalu bertanya tentang Pinangki. Kedua, sikap pasif JPU dalam menanggapi putusan banding Pinangki yang mendiskon hukuman 10 tahun menjadi 4 tahun penjara di mana hukuman ini sama dengan tuntutan JPU pada tingkat pertama.
Selanjutnya, menurut David, JPU tidak akan mengajukan kasasi lantaran Ali Mukartono juga menyatakan dalam perkara Pinangki ini tidak terdapat kerugian negara. Padahal, sesuai dengan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi DKI Jakarta, Pinangki sebagai penegak hukum terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tiga kejahatan sekaligus yaitu menerima suap, melakukan pencucian uang dan melakukan pemufakatan jahat.
“Terakhir, sampai saat ini publik belum mengetahui apakah JPU akan melakukan kasasi atau tidak, padahal waktu yang dimiliki JPU untuk mengajukan kasasi hanya tersisa 5 hari. Sementara jika kita melihat kembali ke belakang, sangat banyak kejanggalan yang terjadi,” ujar David.
Di samping itu, David juga membandingkan kasus yang menimpa Pinangki dengan Urip Tri Gunawan yang sama-sama jaksa atau penegak hukum. Penanganan kedua kasus itu sangat berbeda. Ketika Pinangki diperiksa oleh Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) Kejaksaan Agung, terdapat beberapa nama yang terungkap. Akan tetapi, nama-nama tersebut sama sekali tidak dikenai sanksi etik atau dibawa ke pengadilan. Sebaliknya, justru mendapat promosi jabatan.
Sementara dalam kasus Urip, kata David, nama-nama yang terungkap baik dalam pemeriksaan Jamwas dan pengadilan dikenai sanksi, baik secara etik maupun secara pidana. Bahkan mereka yang dikenai sanksi etik pada kasus Urip sampai pada tingkat Jaksa Agung Muda.
Sedangkan dari sisi nilai suap, menurut David, jumlah yang diterima Pinangki dan Urip tidak jauh berbeda, yaitu US$ 500 ribu dan US$ 600 ribu. Itulah yang menjadi dasar bahwa JPU diragukan akan mengajukan kasasi atas putusan banding Pinangki.
“Merujuk pada sistem pidana Indonesia, seorang penegak hukum yang melakukan tindak pidana justru seharusnya dituntut dengan pasal pemberatan, apalagi dalam hal ini terbukti melakukan tiga tindak pidana sekaligus dengan memanfaatkan jabatannya. Tuntutan terhadap Pinangki 4 tahun dan dihukum 10 tahun, di tingkat banding dikorting menjadi 4 tahun. Sementara untuk mantan jaksa Urip dituntut 15 tahun dan bahkan divonis 20 tahun penjara. Pada tingkat banding dan kasasi, Urip tetap divonis 20 Tahun. Perbedaan yang sangat mencolok untuk kasus yang tidak terlalu berbeda,” ungkap David.(RED)