SURABAYA, beritalima.com — Aroma skandal tambang ilegal menyeruak di pelabuhan Surabaya. Sebanyak 57 kontainer berisi batubara yang dikirim dari Kalimantan Timur melalui KM Meratus Line kini menjadi barang bukti utama dalam kasus dugaan perdagangan batubara tanpa izin resmi.
Di balik pengiriman itu, tiga nama mencuat: Yuyun Hermawan, Direktur PT Best Prima Energy (BPE); Chairil Almuthari; dan Indra Jaya Permana, Kuasa Direktur PT Mutiara Merdeka Jaya (MMJ). Ketiganya kini dijerat hukum atas dugaan mengelabui aturan pertambangan nasional.
Dalam sidang di Pengadilan Negeri Surabaya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Jawa Timur membeberkan skema yang dijalankan sejak April hingga Mei 2025. Yuyun diduga membeli 1.140 ton batubara hasil tambang ilegal dari wilayah Lampek, Samboja, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, tanpa izin eksploitasi resmi seperti IUP, IUPK, IPR, maupun SIPB.
Untuk meloloskan pengiriman ke Surabaya, Yuyun meminta Chairil mencarikan pihak yang bisa menyediakan dokumen pengangkutan resmi. Chairil pun mempertemukannya dengan Indra, yang kemudian menawarkan penggunaan dokumen PT MMJ, sebuah perusahaan tambang berizin dengan tarif Rp3 juta per kontainer.
Kesepakatan cepat tercapai. Total Rp210 juta ditransfer Yuyun kepada Chairil secara bertahap sebagai biaya penerbitan dokumen. Indra lalu menerbitkan berkas pengangkutan seolah-olah batubara tersebut berasal dari tambang resmi di bawah nama PT MMJ.
Namun, langkah itu justru menyeret ketiganya ke meja hijau. JPU menilai, perbuatan tersebut jelas melanggar Pasal 161 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang telah diubah terakhir melalui UU Nomor 2 Tahun 2025, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
“Para terdakwa secara bersama-sama memperdagangkan dan mengangkut hasil tambang yang tidak memiliki izin usaha pertambangan yang sah,” tegas jaksa dalam pembacaan dakwaan.
Kasus ini juga menyoroti lemahnya pengawasan rantai distribusi batubara dari Kalimantan ke Jawa. Modus penggunaan dokumen pinjaman atau fiktif seperti yang dilakukan Yuyun dan rekan-rekannya disebut bukan hal baru, namun baru kali ini terungkap dengan bukti yang masif.
Jika terbukti bersalah, para terdakwa terancam pidana penjara maksimal lima tahun dan denda hingga Rp100 miliar. (Han)








