Dirgahayu Hari Filateli Nasional Ke-97 – Tanggal 29 Maret 2019

  • Whatsapp

Mungkinkah Generasi Mendatang
Mengenal Perangko dan Filateli?

Catatan: Yousri Nur Raja Agam

PERANGKO dan filateli, dua kalimat yang dulu hampir selalu diperkenalkan kepada anak sekolah. Kita semua, masih selalu mendengarkan lagu “tukang pos”. Masihkah anak-anak dan cucu kita mempunyai gambaran tentang tukang pos – pengantar surat dan paket pos dengan sepeda yang di kiri kanannya ada kantong – bahkan seperti yang dilagukannya itu?

Kring, kring – begitu bunyi lonceng sepeda – tukang pos yang menjadi kurir. Dulu, anak-anak berlarian menyambut kedatangan petugas bersepeda itu. Berlarian untuk menerima surat dan paket pos yang dikirim kepada keluarganya. Bahkan, yang lebih khusus lagi, para remaja menunggu “tukang pos” pengantar surat dari sang kekasih yang dikirim dari nun jauh di sana.

Lagu “Teluk Bayur” yang dilantunkan Erni Johan, banyak menggugah ingatan ke masa lalu. Kakek, nenek dan ibu-ibu yang memasuki masa lansia (lanjut usia) terkesan dengan lagu yang mengisahkan anak muda yang berada di kampung halaman dengan sang kekasih yang pergi merantau.

Bait ke tiga lagu Teluk Bayur – Ernie Djohan – berkisah tentang “surat”.

Selamat tinggal kasihku yang tercinta
Doakanlah aku cepat kembali
Kuharap “suratmu” setiap minggu
Kan kujadikan pembuluh rindu

Tetapi, kita tidak sedang membicarakan tentang surat atau lagu itu. Tidak akan membahas surat sebagai pembuluh rindu. Namun, akitivitas surat yang dikirim tempo dulu, pasti hanya satu yang dominan, yakni: pos dan kantor pos. Pemerintah, mempersiapkan semua sarana dan fasilitas kantor pos di kota-kota sampai jauh ke desa-desa. Bukan hanya setelah pemerintahan Indonesia merdeka terbentuk. Justru jauh sebelum itu, sejak zaman penjajahan kolonial Belanda.

Satu di antara, piranti utama dalam surat-menyurat atau berkirim surat adalah: perangko. Kertas kecil bergambar yang ditempel di pojok surat, adalah alat sebagai ongkos kirim dari surat yang kita tulis.

Begitu, hebatnya peran perangko, sampai ada perkumpulan dan organisasi pengoleksi atau kolektor perangko di seluruh dunia. Filatelis atau filateli, demikian sebutan untuk sang kolektor. PFI (Perkumpulan Filatelis Indonesia), pertamakali berdiri di Batavia – nama Jakarta tempo dulu – pada tanggal 29 Maret 1922. Artinya, organisasi PFI ini di tahun 2019 sudah berusia 97 tahun. Pada tahun 1990, Pemerintah Republik Indonesia yang juga peduli terhadap aktivitas filateli itu, menetapkan tanggal 29 Maret sebagai Hari Filateli Nasional (HFN). Tanggal itu diambil dari kelahiran Postzegelverzamelaars Club Batavia, perkumpulan filateli pertama di Indonesia tahun 1922 yang kemudian menjelma menjadi PFI.

Kini di era surat elektronik dan digital, apakah kira-kira zaman keemasan seperti masa lalu PFI akan tetap ada? Inilah kegundahan yang dirasakan para kolektor perangko (baru dan bekas) atau filatelis itu. Memang, dalam perkembangannya, filatelis tidak hanya pengumpul perangko, tetapi juga benda-benda pos lainnya, termasuk cap pos yang ada di amplop surat yang dikirim via pos. Tidak jarang, ada hari yang disebut “peluncuran” sampul hari pertama, yakni memperkenalkan perangko terbitan “terbaru”.

Melalui perangko, kita bisa mengenal dunia. Hampir di setiap negara, pasti membuat perangko yang memperkenalkan kepala negara, raja dan ratu, atau presiden serta para tersohor di negaranya. Bahkan, juga gambar flora, fauna, obyek wisata, kuliner, dan cagar budaya ditampilkan dalam perangko. Tiap jenis perangko, ada harganya. Para kolektor, kadangkala tidak peduli dengan harga, tetapi koleksi dari berbagai macam perangko, asal negara, maupun keunikan atau keistimewaan dari sebuah perangko.

Kendati perangko-perangko yang dihimpun itu bekas digunakan untuk berkirim surat, nilai dan harganya bisa melebihi logam mulia. Apalagi, jika perangko itu unik dan istimewa, serta khusus dan diterbitkan dalam jumlah yang terbatas.

Dulu, selain surat yang ditempeli perangko itu vital sebagai alat komunikasi jarak jauh, juga menempel pada Kartu Pos, kartu-kartu ucapan “Selamat” – Selamat Hari Raya, Selamat Natal dan Tahun Baru, serta kartu ucapan lainnya.

Perkembangan teknologi informasi yang demikian cepat, mengubah segalanya. Menulis surat tidak lagi pakai kertas. Tidak lagi menggunakan mesin ketik. Tidak perlu lagi dikirim melalui kantor pos. Tetapi, kehadiran smartphone atau telepon pintar yang bisa digenggam ke mana-mana, bisa berbicara dan bersurat-menyurat langsung.

Berbagai akun di HP (Hand Phone) bisa kita gunakan untuk berkomunikasi. Mulai dari aplikasi yang dapat mengirim pesan singkat SMS (Short Message Service), e-mail, facebook, twitter, Instagram, Whatsapp, Path, Line, twoo, atau nama-nama aplikasi lain yang jumlahnya cukup banyak. Lengkap dengan suara, tulisan, gambar dan video.

Semua kiriman pesan, surat elektronik dan digital itu dikirim “tanpa perangko” – karena perangko sudah diambilalih oleh “pulsa”.

Apakah mungkin PFI atau para penggemar filateli akan lenyap “ditelan” zaman digital dan elektronik itu? Yakinlah, tidak. Filatelis akan tetap ada. Pemerintah di seluruh dunia, termasuk Indonesia, masih bertahan. Perangko masih tetap dicetak – walaupun jumlahnya berkurang – dan dijual di seluruh kantor pos.

Negara maju seperti Amerika, Inggris, Jerman, Jepang, Australia dan Singapura masih tetap mempertahankan fungsi perangko. Termasuk pada surat tercatat (registered mail) – walaupun di Indonesia, surat tercatat tak lagi berperangko – diganti stiker barcode.

Dalam masa-masa sekarang ini, tentu para filateli tidak perlu resah. Justru, barang yang semakin sulit didapat untuk dikoleksi, akan semakin tinggi harganya. Tidak usah khawatir dengan perkembangan telepon pintar yang merangkum semua aktivitas komunikasi informasi. Percayalah, dunia filateli masih ada dan tetap ada! Dirgahayu Hari Filateli Nasional ke-97 tanggal 29 Maret 2019. (y)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *