Disbudpar bersama BCB Trowulan telah melakukan identifikasi bagaimana penyusunan batu-bata dan sebagainya, untuk kemudian direkonstruksi ulang sesuai wujud bangunan asalnya. BPCB Trowulan bekerja sampai Kamis dan Disbupar kini masih menunggu laporannya.
“Setelah itu, kami berkomunikasi intens dengan pemilik untuk upaya mengembalikan bangunan ini ke bentuk semula dan agar mereka mematuhi arahan kami. Harapan kami mereka kooperatif. Selain itu, kami juga melakukan upaya lain dengan memberi tetenger (penanda) bahwa di area tersebut dulunya pernah menjadi lokasi perjuangan Bung Tomo dan Arek-Arek Suroboyo,” tegas Kepala Disbudpar Kota Surabaya, Wiwiek Widayati dalam jumpa pers yang di kantor Bagian Humas Kota Surabaya, Senin (9/5) sore.
Terkait pembongkaran bangunan cagar budaya tersebut, Wiwiek menjelaskan bahwa bangunan di Jalan Mawar 10 tersebut telah ditetapkan sebagai cagar budaya. Pemkot Surabaya juga telah memberi tetenger (penanda). Bahkan ada dua penanda berupa plakat dan papan bahwa bangunan di Jalan Mawar tersebut adalah bangunan cagar budaya melalui Surat Keputusan Wali Kota tahun 1996 silam.
Kemudian, pada tanggal 20 Februari 2016, dilakukan permohonan oleh pihak pemilik (bapak Amin), dalam hal ini anak pemilik, untuk melakukan renovasi bangunan tersebut. Lalu pada 14 Maret, turun rekomendasi dari Disbudpar dengan posisi merenovasi. Sampai kemudian, pembongkaran dilakukan pada 3 Mei lalu.
“Tanggal 3 Mei itu kami langsung ke lapangan. Kami keluarkan surat peringatan kepada pemilik untuk menegaskan kembali bahwa bangunan itu adalah cagar budaya sesuai SK Wali Kota tahun 1996 ,” tegas Wiwik Widayati.
Disbudpar kemudian meminta agar pengerjaan di lapangan dihentikan. Juga menandai dengan garis penanda Satpol PP Kota Surabaya (Satpol PP line) seperti halnya garis polisi (police line). Termasuk juga melakukan penyegelan. “Itu langkah-langkah awal yang kami lakukan. Dan kami menggelar jumpa pers ini juga agar informasinay tidak simpang siur. Kami juga menyampaikan permohonan maaf bila ada statement kami yang kurang berkenan,” sambung dia.
Terkait pengawasan, Wiwiek menegaskan bahwa instansinya sebenarnya telah melakukan berbagai upaya pengawasan. Semisal ketika ada pemilik bangunan cagar budaya melakukan permohonan renovasi, Disbudpar menyampaikan penjelasan dan arahan untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak diperbolehkan. Lalu, ketika menempatkan plakat penanda, itu juga merupakan upaya untuk memebrikan penekanan bahwa bangunan itu termasuk cagar budaya. “Kami juga aktif berkeliling untuk melakukan pengawasan,” sambung dia.
Wiwiek juga menyebut bahwa kejadian ini akan membuat pihaknya lebih meningkatkan pengawasan terhadap bangunan cagar budaya yang ada di Surabaya. Seandainya sistem pengawasan yang telah terbangun ternyata ada celah, akan lebih dimaksimalkan. “Kita belajar bersama. Kami akan lebih meningkatkan pengawasan. Informasi tentang bangunan cagar budaya juga akan kita share supaya instasi terkait juga bisa satu frame dan koordinasinya bisa lebih kuat lagi,” sambung dia.
Selama ini, Disparta Kota Surabaya sebenarnya sudah melakukan berbagai upaya untuk pelestarian bangunan Cagar Budaya. Diantaranya dengan membagikan (share) informasiterkait keberadaan bangunan cagar budaya ke instansi terkait. Karena memang, upaya pelestarian bangunan cagar budaya di Surabaya, sejatinya bukan hanya ranah nya Pemkot.
“Komunitas peduli cagar budaya selama ini juga telah berperan dalam melakukan upaya penagwasan,” ujarnya.
Selain itu, Pemkot sebenarnya telah melakukan upaya agar warga merasa ikut memiliki bangunan cagar budaya sehingga tergerak untuk ikut merawatnya. Pemkot telah memberikan keringanan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebeasar 50 persen kepada bangunan cagar budaya baik persil maupun kawasan. “Pemkot juga telah memberi fasilitas dengan harapan biaya pengurangan pajak tersebut digunakan untuk pemeliharaan bangunan cagar budaya,” sambung mantan Kabag Kerja Sama Pemkot Surabaya ini.(*)