Diskusi Empat Pilar MPR, Bukhori: Toleransi Beragama Sudah Ada Dalam UUD 1945

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Menjaga toleransi termasuk bulan Ramadhan dimana umat Islam khususnya di Indonesia menunaikan rukun Islam ketiga sudah ada di UUD 1945 pasal 28 ayat satu.

Hal itu dikatakan anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) MPR RI, KH Bukhori Yusuf (virtual) dalam diskusi Empat Pilar MPR RI dengan tema “Menjaga Toleransi di Bulan Suci Ramadhan” yang digelar secara tatap muka dan webinar bersama Peneliti Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Okky Tirto di Press Room Gedung Nusantara III Komplek Parlemen Senayan awal pekan ini.

Menurut Bukhori, pasal 29 ayat satu diatur memposisikan agama sebagai dasar di dalam berbangsa dan bernegara yang tidak perlu dipertentangkan lagi. Pada ayat keduanya sangat jelas, memberikan keberpihakan dan jaminan melaksanakan ajaran agama sesuai dengan keyakinan.

Berbicara tentang Ramadhan sebagai salah satu bentuk implementasi ketundukan seorang hamba kepada Allah, sebagai seorang muslim dalam melaksanakan ibadah. Ini merupakan suatu hak, meski kita juga melihat ada pihak lain (non muslim) yang tidak melaksanakan ibadah Ramadhan.

Sebuah implementasi toleransi akan terwujud dengan adanya pelaksanaan ajaran agama dan tidak terlaksananya suatu ajaran agama oleh pihak tertentu, di sini diletakan adanya suatu garis toleransi. Arti kata dari toleransi berasal dari bahasa Yunani yaitu tolere yang artinya lebih sabar menahan.

“Dengan demikian dalam melaksanakan ajaran agama, melaksanakan ibadah puasa, memang nggak ada pihak lain yang mengganggu dan tidak ada pihak lain memaksa. Kita tidak boleh melarang tapi di satu sisi kita juga tidak boleh memaksa antara memaksa dan melarang inilah sebenarnya, ketika tidak terjadi itulah yang disebut dengan toleransi, tutur Bukhori Yusuf.

Sedangkan Okky Tirto mengatakan, masalah toleransi sebetulnya bangsa Indonesia sudah lebih dari matang dipanggang sejarah, misalnya suku abu yang ada di Alor, yang baru kena musibah kemarin, kita berdoa untuk mereka mereka, mereka punya semboyan misalnya “Tara Miti Tomi Nuku” gitu.

Jadi, meski berbeda tapi tetap satu dalam hati dan kita tahu bahwa perbedaan-perbedaan, bahkan dalam praktik agama yang terjadi di Alor juga biasa saja, masyarakat menyikapi perbedaan keyakinan yang cukup serius artinya perbedaan teologi kan itu sangat serius, itu biasa, mereka menyikapinya sebagai sesuatu yang biasa saja, tidak ada yang perlu direbut diributkan dengan hal itu.

Mungkin kita lebih familiar dengan “Pela Gandong” yang ada di Ambon yang ada di Maluku, tapi terjadi di Alor dan itu yang saya lihat langsung di sana di Alor, sangat dewasa mereka dalam menyikapi perbedaan.

Sementara kawan-kawan yang hidup dalam spirit yang kita orang kota menyebutnya tradisional atau daerah misalnya, itu cukup dewasa tapi ada satu fakta menarik di mana masyarakat urban perkotaan justru, menjadi sangat sensitif dan baperan dengan hal-hal yang sifatnya religius, tutur Okky Tirto. (akhir)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait