Catatan Editor Anick HT atas36 Tulisan Merespon Formula Happiness Denny JA
Pandemi Covid-19 yang memapar jutaan penduduk bumi ini tidak hanya ditandai dengan berubahnya tatanan sosial secara drastis dan runtuhnya sendi-sendi perekonomian di segala sisi.
Di jagat Indonesia, muncul pula polemik panjang yang sangat mencerahkan tentang peran sains dan agama (dan filsafat).
Dalam kondisi pandemi seperti ini, ateis seperti Richard Dawkins akan dengan mudah bertanya kepada kita: Di mana peran Tuhan yang dipercayai miliaran manusia ini dalam menangani pandemi?
Mengapa Tuhan membiarkan jutaan manusia yang diciptakan-Nya berguguran tanpa turun tangan? Di mana agama yang bagi banyak orang adalah solusi untuk semua masalah kehidupan?
Bagi Dawkins, bahkan moralitas sekarang ini tidak lagi membutuhkan agama. Semangat zaman itu sendiri sudah melampaui agama.
Buktinya, moral modern seperti penghapusan perbudakan, kesetaraan gender, bahkan hak-hak binatang, tidak berasal dari agama, melainkan berkembang lewat modernitas sekuler yang justru melampaui agama.
Bahkan agama sendiri dianggap pro perbudakan dan diskriminasi gender.
Pertanyaan yang sama juga diajukan kepada para pembela sains: mengapa para saintis dan pembelanya terlalu percaya diri bahkan ketika mereka sendiri percaya bahwa sampai hari ini ilmu pengetahuan hanya mampu menjawab nol koma nol nol nol sekian persen dari misteri alam raya ini?
Artinya, lebih banyak perkara alam ini yang tidak (atau belum) bisa dijawab oleh sains. Inilah yang melahirkan apa yang disebut sebagai theology of gaps, bahwa banyak hal yang tak bisa dijelaskan dengan sains.
Polemik inipun melahirkan kubu jalan ketiga, yang tidak mempertentangkan agama (dan filsafat) dengan sains, karena masing-masing memiliki wilayahnya sendiri yang bisa saling melengkapi.
Terbukti bahwa sains tidak bisa dibendung oleh agama, dan agama tidak serta merta didelegitimasi oleh sains.
Kebahagiaan dan Spiritualitas Baru
Betapapun, perkembangan sains dalam beberapa dekade terakhir mengalami lompatan yang sangat mencengangkan. Sesuatu yang seolah-olah tak tersentuh oleh dunia ilmiah, pelan-pelan terbuka tabirnya oleh kecerdasan otak manusia.
Perkembangan ilmu pengetahuan juga sampai pada neurosains yang menjawab banyak hal dari dapur otak manusia. Elemen tubuh yang berisi 86 miliar neuron ini mampu menjawab perilaku manusia, kecerdasan, dan kesehatan tubuh.
Sementara, konon melalui neurosains inilah kita bisa mendefinisikan lebih jelas apa yang disebut oleh para mistikus sebagai “hati” yang mengendalikan manusia dalam proses pencarian makna hidup.
Otak inilah ternyata berpusat segala hal yang terkait dengan manusia. Di dalam otak itu pula tumbuh apa yang dimanakan sebagai hormon bahagia, happy hormones. Jika hormon ini tumbuh, dan dihidupkan, ia memberikan rasa bahagia, damai, ekstase, serta rasa mengalami hidup bermakna.
Dari sinilah kemudian muncul optimisme baru bahwa perkara tak kasat mata pun bisa dideteksi oleh ilmu pengetahuan.
Bersama dengan positive psychology, neuroscience berkembang sedemikian rupa sehingga tingkat kebahagiaan dan spiritualitas manusia pun bisa diukur. Ia meramu dan menyatukan disiplin biologi, medicine, physiologi, psikologi, dan modeling matematika.
Karena itulah dengan berani Denny JA mencanangkan bahwa manusia saat ini membutuhkan spiritualitas baru yang didasarkan pada kemajuan ilmu pengetahuan dan riset-riset empirik.
Spiritualitas baru ini akan memberikan peta jalan pada manusia untuk menemukan apa yang selama ini dicari oleh semua manusia: kebahagiaan.
Ketika Seneca, seorang filsuf Romawi bermazhab Stoik menyatakan bahwa: “Kebahagiaan tidak pernah sekalipun mempunyai sebuah ukuran”. Ketika Cicero, Stoik lainnya, juga menyatakan bahwa: “Kebahagiaan itu buta”. Maka bagi sains, Seneca dan Cicero hanya berspekulasi, karena ilmu pengetahuan belum sampai ke sana.
Bagi sains: inilah saatnya menjawab spekulasi yang diproduksi dan digulirkan oleh filosof, mitologi, dan bahkan wahyu.
Apakah dengan demikian, mitologi dan agama sudah sampai pada titik kematiannya?Tentu saja tak semudah itu.
Denny JA sendiri menyatakan bahwa agama memiliki seribu nyawa. Meski narasi yang diproduksi oleh mitologi dan agama telah sedemikian rupa difalsifikasi oleh ilmu pengetahuan, narasi spiritualitas yang oleh Denny disebut sebagai narasi gelombang pertama (mitologi) dan gelombang kedua (wahyu) itu tetap mendapatkan tempat sebagai sandaran manusia.
Menyadari itu, Denny juga menggarisbawahi bahwa spiritualitas baru gelombang ketiga ini tidak menggantikan posisi mitologi dan agama wahyu yang ada dan kemungkinan akan tetap bertahan.
Bahkan, dalam banyak hal, rumusan-rumusan spekulatif tentang kebahagiaan dari sepanjang sejarah manusia diafirmasi oleh perkembangan neurosains dan spiritualitas baru ini.
Spiritualitas baru ini seakan menjadi jalan pintas dari jalan panjang yang selama ini hanya bisa dilalui oleh manusia-manusia agung semacam bhikku, sufi, rohaniawan, dan orang-orang yang dianggap suci.
Denny JA menunjukkan itu. Ia membumbui rumusan spiritualisme barunya dengan kutipan-kutipan Jalaluddin Rumi, yang konon menggabungkan tiga capaian kebijakan sekaligus: visi spiritual yang mendalam sekelas Budha atau Yesus; renungan intelektual yang luas seperti Plato; kelihaian sastrawi seperti Shakespeare.
Tentang Buku Ini
Ketika Denny JA meluncurkan buku tipis ini, sebagian pembaca kaget.
Publik lebih mengenal Denny JA sebagai konsultan politik. Tulisan-tulisannya pun lebih banyak soal-soal politik dan isu-isu demokrasi.
Belakangan, ia juga masuk dalam radar dunia sastra setelah berhasil menggerakkan satu genre baru penulisan karya sastra yang kemudian berkembang hingga hari ini: puisi esai.
Namun, dunia spiritualitas adalah salah satu dunia Denny JA sejak lama. Pengembaraan spiritualitasnya juga melampaui batas-batas agama dan spiritualitas. Dan tema kebahagiaan juga dengan sangat intens dikajinya. Buku ini juga adalah kelanjutan dari buku sebelumnya yaitu “Bahagia itu Mudah dan Ilmiah”.
Buku Spirituality of Happiness ini juga diakui oleh Denny sebagai intisari dari empat puluh tahun perjalanan spiritual dan intelektualnya. Saat masih mahasiswa tahun 1980an, ia mempelajari empat agama besar sekaligus: Islam, Kristen, Hindu, dan Budha. Dia pun memasuki dunia spiritual teosofi, filsafat perenial, Krishnamurti, Swami Vivekananda, Osho, Subud, dan Ki Ageng Surya Mentaram.
Ia juga menekuni riset psikologi positif. Lalu meracik semua pengalaman spiritual dan pencarian intelektualnya itu dalam bahasa yang sangat mudah dicerna dan bernas.
Jadilah buku ini semacam panduan instan bagi peminat spiritualitas, filsafat, dan sains sekaligus.
Setelah diluncurkan, segera buku ini mendapatkan respons yang beragam dan sangat mencerahkan. Melalui forum grup facebook bernama Esoterika-Forum Spiritualitas, Denny JA menstimulasi banyak tanggapan positif yang sebagiannya terangkum dalam buku ini.
Saya sendiri turut terlibat sebagai admin dalam grup tersebut.
Buku ini memuat 36 artikel yang mereview dan merespons buku Denny JA. Respons-respons ini menarik karena ditulis oleh para penulis dengan beragam latar belakang pengetahuan maupun profesi. Agamawan maupun sastrawan. Aktivis maupun ahli statistik. Dosen maupun jurnalis.
Sebagian besar tanggapan dalam buku ini sangat positif terhadap lontaran Denny JA soal spiritualitas baru. Sintesa Denny JA seperti menjawab kegelisahan sebagian orang terhadap masa depan agama yang cenderung fundamentalistik di satu sisi, dan di sisi lain perkembangan sains yang konon menggerus peran agama dan moralitas dalam menjawab pencarian makna.
Sebagian juga mengamini spitualitas baru yang ditawarkan oleh Denny sebagai keniscayaan kebutuhan manusia yang semakin kompleks.
Namun, buku ini juga menggelisahkan. Terutama bagi mereka yang terbiasa berpegang pada paradigma narasi mitos atau narasi wahyu.
Denny mengingatkan adanya pergeseran atau perubahan gelombang spiritualitas. Setiap perubahan selalu menggelisahkan! Denny mengajak kita untuk menerima kenyataan bahwa sebenarnya dunia spiritualitas kita sudah mengalami pergeseran (lihat Albertus Patty).
Kritik dan catatan penting juga banyak dilontarkan dalam berbagai tanggapan dalam buku ini.
Salah satu kritik yang muncul adalah soal kebaruan. Bahwa apa yang ditawarkan dalam buku Denny JA bukanlah sesuatu yang betul-betul baru. Studi empiris sebetulnya hanya mengafirmasi sebagian dari apa yang sudah muncul sebelumnya, melalui berbagai macam cara.
Empirisisme tidak bisa menjangkau hal yang transendental, apalagi metafisis. Sains tidak bisa menjelaskan kebahagiaan yang hakiki ini, tapi mistisisme raja yoga, misalnya seperti yang diuraikan Swami Vivekananda, bisa menjelaskan kebahagiaan di level kesadaran jiwa.
Sains hanya bisa menjelaskan kebahagiaan di level kesadaran badan, atau paling jauh dengan psikologi misalnya Abraham Maslow menjelang wafatnya, menghantar di pintu gerbang kesadaran jiwa, tapi untuk masuk memerlukan perspektif mistisisme (lihat Budhy Munawar Rachman).
Ada pula yang menganggap bahwa memformulasi kebahagiaan yang sangat kompleks, lalu merumuskannya dan mengklaim sebagai jalan baru spiritualitas, adalah sesuatu yang sia-sia, bahkan utopis, mengingat sains juga memiliki keterbataannya sendiri, dan tak semua hal bisa dirasionalisasi.
Bahkan studi empiris memiliki kelemahannya sendiri, karena spiritualitas adalah soal penghayatan, bukan pengamatan. Terlebih, dalam konteks spiritualitas, ada persoalan interpretasi subjektif manusia yang serba unik. Spiritualitas tak bisa mengabaikan kekhususan pandangan seperti ini.
Manusia juga memiliki beragam kehendak dan hasrat: baik dan jahat, membangun dan meruntuhkan. Karena itu, kebahagiaan tidak bisa dikerangkeng hanya dengan formula yang simplifikatif (lihat misalnya F Budi Hardiman).
Catatan menarik lainnya misalnya soal masa depan mitologi dan agama yang tak kunjung mati terbunuh. Mitos-mitos dan narasi agama tetaplah mengandung irasionalitas yang hanya bisa dijangkau melalui “keyakinan”.
Secara implisit, buku Denny seperti menampar dua narasi gelombang spiritualitas sebelumnya sebagai sandaran yang ketinggalan zaman. Tidak bisa diandalkan.
Harus diakui, Denny JA cukup hati-hati dalam soal ini. Baginya, ruang lingkup spiritualitas baru ini memang terbatas hanya memberikan panduan hidup agar lebih bermakna, bahagia, dan menebar kebaikan yang semuanya berdasarkan hasil riset empirik.
Baginya, spiritualitas baru ini diimplementasikan dalam habit dan mindset yang beriringan dengan agama atau kepercayaan yang sudah kita anut. Dan malah memperkuatnya.
Buat saya sendiri, salah satu keberhasilan Denny JA melalui bukunya adalah cara dia mengajak orang lain untuk terlibat membincangkan isu yang tak semua orang menggelutinya.
Kemasan dan istilah yang populer, bahasa yang ringkas, dan logika yang rapi mampu membuat pembaca masuk ke dalam tema dan riset-riset ilmiah serius, tanpa membutuhkan keringat dan dahi berkerut. Namun kita tidak pula kehilangan nuansa ilmiah akademisnya.
Dan buku di hadapan Anda ini akan memperkaya perspektif bacaan Anda terhadap lontaran formula Denny JA yang dihasilkan dengan proses perjalanan spiritual yang panjang.
Selamat membaca.