SURABAYA, beritalima.com – Saat ini, seluruh dunia telah memasuki era finansial teknologi, pasca kebenaran, alias post-truth, serta era disrupsi atau disruption diberbagai lini kehidupan. Hadirnya era tersebut banyak diperbincangkan oleh publik, khususnya soal disrupsi ekonomi. Namun, sangat sedikit yang membicarakan tentang disrupsi mental dan karakter.
Padahal, baru-baru ini kita dikejutkan dengan berita lebih dari 125 perusahaan financial technology (Fintech) yang sudah dicabut ijinnya oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) RI, karena melakukan proses-proses penipuan berbalut pada digitalisasi ekonomi, finansial teknologi, dan peer to peer. Masyarakat pun sulit membedakan fintech mana yang legal, dan illegal, sehingga mereka menjadi korban.
“Jadi ini sebuah kondisi di lapangan yang bisa sangat kontradiktif. Di satu sisi, kita ingin menanamkan iman, takwa, dan akhlak mulia berseiring dengan kemajuan teknologi termasuk teknologi jasa keuangan tapi disisi lain kita berada pada era post truth dan era disruption. Karena itu, kita perlu memperkuat tanggung jawab dan karakter para pelaku jasa keuangan agar masyarakat tidak dirugikan. Secara kelembagaan sebenarnya telah ada lembaga yang melakukan fungsi pengawasan atas industri jasa keuangan yaitu OJK. Tetapi kita juga punya tanggung jawab untuk ikut mengawal. Termasuk dunia perguruan tinggi dalam hal ini APTISI . Dalam hal kemajuan fintech, ambil baiknya buang tidak baiknya,” kata Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, saat membuka Rapat Pengurus Pusat Pleno (RPPP) Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta (APTISI) ke-VI di Gedung Negara Grahadi Surabaya, Selasa (29/1) malam.
Gubernur Khofifah mengatakan, pentingnya membangun mental dan karakter ini karena pengaruh era post truth dan disrupsi sudah begitu kuat. Termasuk di Jawa Timur, dimana ditemukan investasi bodong yang jumlahnya hampir Rp. 750 miliar. Para korbannya pun orang-orang yang cukup terpandang dan sangat rasional.
“Ada yang investasi Rp. 20 juta dapat mobil Alphard, dan Rp. 2 juta bisa umroh. Mereka kemudian menjadi speaker sehingga semakin banyak masyarakat yang tertarik karena sudah ada bukti,. Akhirnya banyak.korban tertipu,” kata Khofifah.
Karena itu, gubernur wanita pertama di Jatim ini mengajak para rektor, guru besar dan akademisi yang tergabung dalam APTISI untuk memperkuat tanggung jawab, mental dan karakter, serta literasi financial digital dan teknologi kepada masyarakat, khususnya generasi muda. Sebab, percepatan kemajuan teknologi digital sudah sangat luar biasa, jadi dibutuhkan keberseiringan dengan proses literasi.
“Literasi Finansial menjadi penting, literasi finansial teknologi juga sangat penting. Jadi Proses literasi ini harus berseiring dengan percepatan kemajuan teknologi digital yang luar biasa. Hari ini tidak perlu harus jualan kamera, Tapi dia bisa menjadi platform yang terbesar di dunia. dan itu adalah Instagram misalnya. Hal-hal inilah yang kami rekomendasikan agar mendapat porsi pembahasan dalam rapat pleno APTISI kali ini. Kemajuan fintech ambil baiknya buang tidak baiknya,” tegasnya.
Kemajuan teknologi dan tren ekonomi digital, imbuh Gubernur Khofifah, telah diantisipasi oleh Pemprov Jatim. Dimana sejak kampanye pilgub lalu, pihaknya telah menyampaikan bahwa 43% anak-anak muda di Amerika Serikat sudah masuk format gig economy sehingga mereka lebih senang memilih menjadi gig worker.
“Yang dibutuhkan oleh generasi muda adalah pusat inovasi , kursus singkat profesi tertentu yang tersertifikasi , co working space dan semacamnya. Sehingga Pemprov Jatim juga menyiapkan program Belanova (belanja inovasi), lalu menyiapkan format MJC (Millenial Job Center) untuk menyiapkan lulusan SMA/SMK/MA yang tak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi supaya bisa mandiri atau terserap lapangan kerja,” jelasnya.
Ekosistem MJC tersebut, lanjut Khofifah, meliputi talent, client, dan mentor. Diakuinya, penyiapan ekosistem ini butuh waktu yang lama, begitu juga mencari mentor. Tapi pihaknya bersyukur banyak perusahaan multinasional dan e-commerce yang mau bergabung. Hasilnya, pada semester dua tahun 2019 sudah bisa dilaksanakan di Jatim.
“Program MJC ini dibuat karena sebanyak 67 % lulusan SMA/SMK dan MA tak melanjutkan ke Perguruan Tinggi, jadi kita siapkan solusi berupa double track SMA dan MA. Saat ini, sudah ada 157 SMA Double Track dan 120 MA Double Track yang bergabung. Kami juga memberikan materi soft skill setiap Sabtu dan Minggu,” ujarnya.
Lebih lanjut disampaikannya, di era disrupsi serta perkembangan teknologi yang sangat cepat seperti saat ini, pasti akan ada profesi pekerjaan yang menghilang karena digantikan oleh teknologi. Hal ini juga harus diantisipasi oleh APTISI, dalam menyiapkan perguruan tinggi yang siap menyambut, mengaplikasikan, dan mengembangkan tekologi.
Dalam sambutannya, Ketua Umum APTISI Pusat, Budi Djatmiko mengatakan bahwa RPPP ke 6 APTISI ini dihadiri sekitar 350 perwakilan APTISI Provinsi dari seluruh Indonesia. Anggota APTISI terdiri dari pimpinan Perguruan Tinggi Swasta dan yayasan sebanyak 4.650 anggota, yang memiliki 25.600 prodi.
Ketua APTISI Budi mengakui, hadirnya era disrupsi dan kemajuan teknologi membuat banyak PTS dan prodi yang tutup di seluruh Indonesia. Contohnya, program studi sekretaris sebanyak 58 PTS, Perbankan sebanyak 90 PTS tutup, dan perjalanan wisata sebanyak 35 PTS. Tutupnya prodi ini karena pendaftarnya tidak ada, dan kalah dengan aplikasi-aplikasi berbasis teknologi, seperti traveloka.
“Karena itu, APTISI harus bisa membuka pendidikan jarak jauh, jika tidak akan kalah dengan perkembangan jaman atau bahkan harus dimerger. Inilah yang akan dibahas dalam RPPP ke 6 APTISI di Surabaya sekaligus RPPP terakhir karena 6 bula kedepan akan dilaksanakan Munas,” ujarnya.
Sebagai informasi, Rapat Pengurus Pusat Pleno (RPPP) ke-VI APTISI (Assosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia) ini mengambil tema “Membangun SDM Beriman, Bertaqwa, Berakhlak Mulia Yang Inovatif dan Produktif di Era Digital”.
Hadir dalam kesempatan ini, beberapa kepala OPD di lingkup Pemprov Jatim, dan para anggota APTISI se-Indonesia. (rr)