Jakarta, beritalima.com| – Senator sekaligus Anggota DPD RI dan Badan Pengkajian MPR RI Dedi Iskandar Batubara menyatakan pentingnya penguatan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Menurutnya, tanpa penguatan itu, peran DPD akan terus berada di bawah bayang-bayang DPR dan eksekutif.
Hal itu disampaikan Dedi dalam Diskusi Konstitusi dan Demokrasi Indonesia yang digelar Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP), bertepatan dengan peringatan HUT ke-21 DPD RI di Jakarta (1/10).
“Mski lahir dari amandemen UUD 1945, kewenangan DPD dalam legislasi masih sangat terbatas. Puncaknya hanya bisa ditempuh lewat amandemen kelima UUD 1945, meski jalan politiknya memang panjang,” terang Dedi (1/10).
Ia menilai, penguatan peran DPD RI justru menjadi kebutuhan mendesak untuk menyeimbangkan sistem presidensial yang kini dinilai terlalu kuat di tangan eksekutif. Dengan kewenangan legislasi terkait kepentingan daerah, DPD akan lebih tepat sasaran karena anggotanya memahami langsung masalah lokal.
“DPD harus memastikan program pemerintah berjalan nyata di daerah. Itu fungsi pengawasan yang bisa langsung dirasakan masyarakat,” ujarnya.
Jadi, Dedy ingin Memperkuat fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dan program pemerintah di daerah, khususnya terkait dana transfer.
Serta mengoptimalkan kolaborasi dengan lembaga negara lain agar program APBN benar-benar menyentuh rakyat.
Meski kerap kalah pamor dibanding DPR, Dedi menegaskan isu yang diperjuangkan DPD bersifat fundamental karena menyangkut kepentingan daerah secara langsung.
Dalam forum yang sama, pendiri Skala Survei Indonesia (SSI) Abdul Hakim MS, mengingatkan sistem politik Indonesia sejak awal berada di persimpangan antara presidensial dan parlementer. Ia menyebutnya sebagai “jalan ketiga demokrasi Indonesia”.
“Sejak 1945, Indonesia mencari jalan tengah. Dari kabinet parlementer yang jatuh silih berganti, Dekrit 5 Juli 1959, hingga amandemen pasca-Reformasi yang menegaskan presidensialisme,” papar Abdul Hakim.
Namun, realitas politik Indonesia menunjukkan oposisi cair, partai politik bisa keluar-masuk koalisi dengan mudah. Fenomena ini menciptakan oposisi “abu-abu” yang berbeda dengan praktik presidensial murni.
“Demokrasi jalan ketiga Indonesia adalah model khas. Jika dijaga seimbang, ia bisa jadi kontribusi penting Indonesia dalam percakapan global,” ungkapnya.
Jurnalis: rendy/abri






