SURABAYA, Beritalima.com|
Semakin dekatnya Pemilu 2024 memunculkan berbagai perubahan, termasuk keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai larangan kampanye di tempat ibadah. Revisi pada pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu mempertegas keputusan ini.
Dalam menyikapi perubahan ini, strategi politik dan dampak terhadap identitas menjadi sorotan utama. Ucu Martanto S IP MA dosen Ilmu Politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair), memberikan pandangannya.
Strategi Politik dan Identitas
Ucu menyoroti pentingnya politik identitas dalam sejarah pemilihan di Indonesia.
“Politik identitas telah menjadi bagian tak terpisahkan dari proses pemilihan di Indonesia,” katanya.
Meskipun kampanye di tempat ibadah dilarang, tingkat intensitas politik identitas dapat berbeda di tingkat lokal dan nasional, tergantung pada komposisi pasangan calon dan partai yang terlibat.
Mengutip contoh dari sejarah politik Indonesia, Ucu menggambarkan bagaimana partai-partai membentuk aliansi yang menggabungkan identitas agama dan non-agama.
“Sejarah kita mencerminkan bahwa politik identitas telah mendominasi, seperti fusi partai yang menggabungkan unsur agama dan nasional,” ujarnya.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa isu-isu seperti agama, etnis, dan kebangsaan tetap relevan dalam politik, tergantung pada momentum politik dan pelaku yang terlibat.
Ucu menyoroti peran politik identitas dalam membentuk persepsi publik terhadap calon dan partai.
“Identitas menjadi faktor penentu dalam cara pemilih memandang kandidat. Calon yang dapat mengakomodasi nilai-nilai identitas pemilih cenderung lebih berhasil dalam meraih dukungan,” jelasnya.
Platform Alternatif Kampanye Identitas
Mengenai dampak larangan kampanye di tempat ibadah, Ucu berpendapat bahwa media sosial menjadi alternatif yang signifikan.
“Kampanye masih dapat dijalankan melalui media sosial dengan berbagai cara,” katanya.
Meskipun kampanye di tempat ibadah dilarang, dia mengakui bahwa media sosial memiliki peran yang penting dalam membentuk narasi politik.
“Media sosial memberikan platform untuk kampanye yang lebih luas dan personal. Ini memungkinkan para calon untuk tetap terhubung dengan pemilih meskipun dengan cara yang berbeda,” ujarnya.
Ucu mengingatkan bahwa dalam era digital seperti sekarang, citra dan pesan yang dibangun melalui media sosial dapat berdampak besar.
“Penggunaan media sosial harus diiringi dengan pemahaman mendalam tentang karakteristik platform dan audiensnya. Kampanye yang cerdas di media sosial dapat memberikan keuntungan strategis bagi para calon,” tambahnya.
Mengurangi Polaritas Identitas
Dalam upaya mengatasi polarisasi politik berbasis identitas, Ucu menyarankan beberapa langkah konkrit.
“Peningkatan literasi politik dan media sosial bagi pemilih sangat penting,” ujarnya.
Dia juga menyoroti perlunya edukasi politik yang berkelanjutan, bukan hanya saat menjelang pemilu.
“Edukasi politik yang berkesinambungan dapat membantu pemilih memahami isu-isu dengan lebih baik dan tidak mudah terjebak dalam narasi sempit,” katanya.
Selain itu, Ucu menggarisbawahi peran penting partai politik dalam mendidik pemilih dan aktor-aktor informasi dalam memberikan edukasi politik.
“Partai politik harus lebih aktif dalam memberikan edukasi kepada pemilih tentang isu-isu politik dan ideologi yang mereka anut. Ini akan membantu pemilih membuat keputusan yang lebih rasional dan berdasarkan fakta,” paparnya.
Menghadapi Tantangan di Pemilu 2024
Dengan perubahan dinamika politik yang terus berkembang, pandangan Ucu memberikan pemahaman tentang bagaimana partai dan kandidat dapat mengatasi tantangan baru ini. Dalam menghadapi Pemilu 2024, literasi politik yang ditingkatkan dan edukasi yang berkelanjutan menjadi kunci untuk mengurangi potensi polarisasi politik berbasis identitas.
Dengan memahami dampak larangan kampanye di tempat ibadah dan menerapkan strategi yang sesuai, diharapkan Pemilu 2024 dapat berjalan dengan lebih baik dan membawa dampak positif bagi proses demokrasi di Indonesia. (Yul)