SURABAYA, Beritalima.com|
Tentu bukan rahasia lagi bahwa ukuran kecerdasan seseorang tidak hanya terletak pada kemampuan intelegensi atau Intelligence Qoutient (IQ) semata. Terdapat jenis kecerdasan lain pada manusia yang tak kalah penting dari kecerdasan kognitif. Yaitu, kecerdasan emosional atau emotional quotient (EQ).
EQ merupakan kemampuan seseorang mengenali, mengelola, dan mengontrol emosi terhadap diri sendiri, orang lain, serta situasi di sekitarnya. Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa EQ bahkan menjadi faktor yang paling berkontribusi pada pencapaian kesuksesan seseorang.
Dosen sekaligus Dekan Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (UNAIR) Dr. Nurul Hartini, S.Psi., M.Kes mengemukakan alasan penting mengapa orang tua harus menumbuhkan dan melatih kecerdasan emosional anak sejak dini. Mengutip pernyataan Joseph LeDoux seorang neuroscientist dari New York University, bahwa di batang otak manusia bertumpu sekelompok sel yang berfungsi memproses hal-hal yang berkaitan dengan emosi. “Organ otak ini bersifat plastis dan mudah dibentuk sesuai dengan rangsang-rangsang yang diperoleh dari lingkungan.
Oleh karena itu, semakin dini anak memperoleh proses belajar untuk melatih emosinya, maka anak akan semakin menerima rangsang-rangsang pada pembentukan amigdalanya, “papar Nurul.
Manajemen emosi, lanjut dia, bisa dilatih sejak awal kehidupan anak berusia nol. Secara alamiah anak akan memunculkan emosi positif seperti rasa senang dan emosi negatif seperti marah yang biasanya ditunjukkan dengan perilaku menangis.
Sehingga peran ibu menjadi sangat penting bagi anak untuk belajar manajemen emosi di hari-hari pertamanya.
“Pembelajaran emosi pada anak efektif dilakukan melalui penguatan positif yang disesuaikan dengan karakteristik perkembangan anak, “terang dosen pakar psikologi dan konseling keluarga tersebut.
Penguatan positif oleh orang tua dan lingkungan pada pembelajaran emosi anak, dapat dilakukan melalui, pertama mengajarkan anak mengenali emosi yang dirasakan dan secara bertahap diajak memberikan nama atas emosi yang sedang terjadi.
“Kedua, mengajarkan anak untuk berempati dan mengenali emosi orang lain. Ketiga, mendengarkan anak dan mengajarkan cara mengekspresikan emosi dalam bentuk perkataan maupun sikap yang bisa diterima orang lain.
Anak dengan manajemen emosi yang negatif akan sulit mengelola emosi atau perasaannya ketika berhadapan dengan situasi atau keadaan yang tidak diinginkan atau diharapkan. Realitasnya, setiap individu harus siap dengan perubahan dan keadaan yang tidak sesuai rencana dan/atau harapan, “ungkap Nurul.
Sementara itu, manajemen emosi yang negatif dapat memunculkan perilaku yang juga negatif. Hal tersebut akan berdampak pada relasi interpersonal, bahkan terhadap masalah kesehatan. Nurul pun berbagi tips untuk mengatasi perubahan emosi pada anak. Saat anak tantrum, semisal marah, menangis, menjerit, memukul, melempar, berguling-guling atau tidak mau beranjak dari tempatnya, maka orangtua harus tenang dan menemukan penyebabnya.
“Setelah mengidentifikasi sebab tantrum anak, maka orangtua harus berempati dan berusaha mengomunikasikan dengan tenang pula kepada anak tentang sikap dan perilaku yang benar dan baik dalam mengekspresikan emosi yang dirasakan,”tuturnya. (yul)